Ketika Anda menjadi seorang pemimpin yang sebenarnya, banyak hal dari diri Anda akan berubah secara mendalam. Anda menjadi jauh lebih peduli untuk membuat team Anda lebih cerdas, lebih berani, dan lebih baik, daripada hanya mencari kesempatan untuk kelihatan hebat sendiri.
Dalam proses untuk menjadi pemimpin yang sebenarnyalah yang secara alami memunculkan pola pikir menjadi seorang coach. Lalu timbul kendala keterampilan. Kebanyakan pemimpin tidak memiliki keterampilan dasar yang diperlukan untuk melakukan coaching kepada team-nya.
Belajar untuk menjadi seorang coach berarti menciptakan impian untuk team Anda dan menjadi motivator ulung, menetapkan tujuan yang tinggi, membahas apa dan bagaimana cara meraihnya, memastikan team Anda bertanggung jawab, serta memberikan umpan balik yang jujur dan tulus. Anda tidak bisa menggampangkan semua hal ini.
Agar mampu memberikan coaching yang efektif memerlukan niat yang kuat, kesabaran, serta keterbukaan dan kerendahan hati dan pikiran untuk bersedia belajar dan berlatih terus menerus, dan semua usaha tersebut akan memberikan manfaat luar biasa pada akhirnya. Team Anda akan berterima kasih pada Anda. Mereka akan menjadi lebih mandiri, terbiasa dengan proses berpikir yang kreatif sehingga potensi pribadi dan profesionalnya semakin bertumbuh.
Setelah Anda membaca tulisan saya di link Mau Jadi “Victim” atau “Victory”?, mungkin Anda mulai bertanya-tanya, “Lalu
bagaimana saya tahu bila saya sedang dalam kondisi “Victim”? Bagaimana caranya
untuk memiliki mindset “Victory”?”
Seperti yang saya telah katakan, setiap orang boleh kok
memilih, termasuk memilih mau jadi “Victim” atau meraih “Victory” dalam
hidupnya. Tidak ada yang memaksa kita untuk selalu berada di kondisi “Victory”.
Dan apabila kita mulai memutuskan untuk menjadi pribadi yang “Victory”, itu
adalah pilihan dan bukan paksaan. Tidak bakalan ada orang yang menodongkan
pistol ke kening kita dan menyuruh kita untuk, “Hayo, segera pindah ke mindset “Victory”
atau saya tembak kepala kamu..!”
Bila Anda memutuskan untuk menerima kondisi Anda apa adanya,
mungkin Anda tidak perlu melanjutkan membaca tulisan ini. Dan bila Anda ingin tahu
cara yang mudah untuk memiliki mindset “Victory”, ya silahkan lanjut
membacanya, hehehe..
Petunjuk utama kita berada dalam kondisi “Victim” adalah
apabila kita menghadapi suatu kejadian kita merasakan “emosi negatif”. Apa sih
emosi negatif itu? Yaitu misalnya kita saat merasa marah, sedih, takut, rasa bersalah,
frustasi, kecewa, dll. Biasanya akan juga muncul suara-suara di dalam kepala
kita (disebut dialog internal) yang juga bernada negatif.
Mari kita ingat-ingat suatu pengalaman dimana kita berada
dalam kondisi yang tidak mengenakan, tidak berdaya, terjebak, tidak mampu, dll.
Kita bisa membayangkan diri kita mundur (step
back) dan seolah-olah melihat diri kita sedang dalam kondisi dan emosi
seperti itu. Perhatikan diri kita yang di depan kita. Amati juga apa yang
spesifiknya telah terjadi saat itu? Bagaimana kita tahu bahwa kita berada dalam
kondisi “victim”? Apakah ada seseorang yang mempengaruhi kita secara negatif? Lalu
apakah kita sedang melakukan “blaming”, “excuse”, atau “denial”?
Setelah kita mengidentifikasi dengan jelas kondisi kita,
silahkan evaluasi dengan pertanyaan ini, “Apa saja yang saya telah lakukan
dengan benar saat itu?”. Dalam peristiwa buruk apa pun, pastilah ada
bagian-bagian dimana yang kita lakukan sudah benar. Tidak mungkin kita salah
100%. Silahkan tinjau kembali, bagian-bagian mana dari kejadian tersebut yang kita
telah lakukan dengan benar. Ketika kita telah menyadari bahwa ada hal-hal yang
benar yang kita lakukan, biasanya emosi negatif yang kita sedang rasakan pun
mereda.
Nah, langkah selanjutnya adalah kita mengidentifikasi dengan
pertanyaan-pertanyaan, “Apa saja yang di diri kita yang harus diperbaiki atau
ditingkatkan? Bagaimana caranya?” Mungkin kita memutuskan bahwa kita harus
memperbaiki cara atau perilaku tertentu. Mungkin juga kita perlu meningkatkan
pengetahuan atau keahlian kita. Atau mungkin kita perlu menghilangkan suatu mental block tertentu? Maksud dari
langkah ini adalah sesungguhnya tidak ada dari suatu peristiwa yang tidak bisa
diperbaiki 100%. Memang, peristiwa atau kejadian tersebut mungkin sudah lewat,
dan paling tidak kita bisa memperbaiki sikap atau apa pun dari diri kita ke
depannya.
Pertanyaan terakhir yang diri kita perlu jawab adalah, “pelajaran
positif apa yang saya bisa ambil dari peristiwa itu? Apa yang saya bisa
pelajari dari situasi itu yang bisa membantu saya di masa depan?” Saya termasuk
orang yang percaya bahwa di setiap kejadian pasti ada pelajaran yang kita bisa
ambil untuk kemajuan kita di masa depan. Pelajaran tersebut mungkin bisa berupa
antisipasi apa yang kita harus siapkan, tindakan alternatif apa yang kita perlu
lakukan bila menjumpai peristiwa yang serupa, dll. Peristiwa atau kejadian
adalah netral, kita sendiri yang memberikan arti apakah itu positif atau negatif.
Kita tidak bisa menghapus kejadian yang telah terjadi. Yang bisa kita lakukan
adalah mengambil pelajaran positifnya.
Ciri-ciri dari pelajaran yang positif adalah:
Dinyatakan dalam kalimat positif (bukan kalimat negatif,
menggunakan kata “tidak”, atau bukan apa pun yang memiliki makna menghindar
dari sesuatu). Contohnya adalah, “Saya tidak akan menegur dia dengan ketus lagi”.
Kalimat ini adalah kalimat yang menggunakan kata ”tidak”. Bila kita tidak akan
menegur dia dengan ketus lagi, lalu bagaimana kita akan menegur dia? Maka kita
ganti saja kalimatnya menjadi, “saya akan menegur dia dengan dengan sikap yang
sopan dan dengan tersenyum tulus”.
Pelajaran tersebut haruslah kita sendiri yang
melakukan, bukan orang lain. Misalnya pernyataan seperti, “staf saya harus mengetahui
cara menjaga inventory di gudang supaya tidak ada barang yang hilang” bukanlah
suatu pelajaran positif yang kita bisa lakukan sendiri. Gantilah dengan
pernyataan seperti, “saya akan mengajarkan staf saya agar dia bisa menjaga
inventory di gudang sehingga tidak ada lagi barang yang hilang”. Kalimat ini
tentu lebih memberdayakan diri kita, bukan?
Pelajaran tersebut tentulah musti berlaku dan
kita bisa terapkan di masa depan. Percuma bila tidak bisa. Bagaimana seumpama ada
peristiwa yang sama terjadi di masa depan? Apa yang kita perlu lakukan secara
berbeda bila hal yang serupa terjadi lagi?
Sekarang kita sudah mengerti bagaimana kita bisa pindah ke
posisi “Victory”, bila kita memang telah memutuskannya. Sebagai latihan,
sekarang silahkan pilih peristiwa atau kejadian tertentu yang membawa kita ke
kondisi “Victim”. Segera lakukan langkah-langkah di atas dan perhatikan
bagaimana perasaan kita pun ikut berubah menjadi lebih positif. Mudah-mudahan
kita menjadi semakin punya kendali terhadap diri kita dan kita tidak membiarkan
sikap dan kondisi kita dipengaruhi oleh pihak-pihak luar.
Sebelum saya memulai, silahkan lihat dan amati video pada
link berikut:
Setelah Anda mengamati video tersebut, silahkan jawab
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:
1.Apa setting dari video itu?
2.Siapa saja karakter kunci dalam video itu?
3.Apa yang terjadi pada karakter kunci tersebut?
4.Bagaimana Anda menilai reaksi dari karakter
kunci itu?
5.Apa yang seharusnya karakter kunci dalam video
itu lakukan?
6.Apakah Anda pernah mengalami kejadian dalam hidup
Anda, yang seperti digambarkan dalam video itu? Silahkan refleksikan ke diri
Anda sendiri.
Teman-teman, dalam dunia ini, ada dua golongan besar
manusia. Yang pertama ada golongan manusia yang saya sebut sebagai “Victims”.
Yang kedua adalah mereka yang masuk ke golongan “Victory”.
Mungkin Anda bertanya-tanya, apa sih maksudnya? Atau, dari
kedua istilah tersebut Anda sudah punya gambaran apa maknanya?
Nah, mari kita mulai dengan istilah “Victims”. Orang-orang
yang memposisikan dirinya sebagai “Victims”, pada dasarnya adalah mereka yang
menganggap diri mereka sebagai korban, atau secara lebih jelasnya mereka merasa
sebagai korban keadaan, korban lingkungan, korban perasaan, dan lain-lainnya.
Kebahagiaan atau keberhasilan bagi mereka sangat dipengaruhi kondisi lingkungan
atau keadaan dimana mereka alami pada suatu saat tertentu. Mereka yang masuk
dalam kondisi “Victims” adalah mereka yang biasanya memiliki pola pikir dan
perilaku “blaming (menyalahkan)”, “excuses (memberikan alas an-alasan)”, dan
“denial (penyangkalan)”. Mungkin ada pola pikir dan perilaku lainnya, namun
saya rasa semuanya bermuara ke ketiga hal di atas.
Apa yang dimaksud dengan “blaming”? Seseorang yang seperti
itu bila tidak berhasil mencapai apa yang dia inginkan cenderung untuk
menyalahkan atau menuduh kondisinya kepada orang lain, rekan kerja, atasan,
bawahan, keluarganya, keadaan, perekonomian, pemerintah, cuaca, atau apa pun
yang dia tidak bisa kendalikan. Menurut dia, “merekalah yang bersalah, semua
ini gara-gara mereka, kalau bukan mereka saya tidak akan seperti ini”, dll.
Ketika menurut dia tidak ada yang cocok untuk dipersalahkan,
dia pun mulai membuat alasan-alasan mengapa suatu hal tidak berhasil. Kebanyakan alasan-alasan tersebut hanyalah
persepsi dia saja, berdasarkan sudut pandang dia dan tidak (mau) melihat dari
sudut pandang lainnya. Fakta-fakta yang dia beberkan dia tambahkan dengan
pernyataan-pernyataan yang hanya mendukung persepsi dia. Apabila ada fakta baru
yang membantah persepsinya, dengan mati-matian dia menyangkal dan membeberkan
lagi alasan-alasan lain yang mendukung persepsi dia.
Mungkin dia tidak suka menuduh, atau kondisinya tidak
memungkinkan dia untuk membuat alasan. Lalu apa yang dia lakukan? Akhirnya dia
menyangkal. Apa artinya? Misalkan seseorang yang menyadari bahwa bisnisnya
tidak berkembang selama beberapa tahun belakangan ini malah berkata, “Ah, gak
usah neko-neko, saya sudah bersyukur dengan kondisi yang ada. Yang penting
karyawan saya mendapat gaji, ada profit, pelanggan saya happy happy kok, dan
semua baik-baik saja”. Seseorang yang
hanya lulus SD atau SMP, bukannya berpikir bagaimana caranya untuk meningkatkan
pengetahuan atau keahlian dia, malah berpikir, “sudahlah, saya kan hanya
lulusan SD/SMP, gak usah macam-macam, saya cari saja pekerjaan yang sesuai
dengan pendidikan saya, gak mungkinlah mendapatkan posisi pekerjaan tinggi,”
dll.
Teman-teman, karakteristik utama dari golongan “Victims”
adalah, mereka hanya berfokus pada apa yang mereka tidak bisa kendalikan.
Sedikit sekali atau tak pernah muncul dalam perhatian mereka bahwa apa yang
terjadi itu sebetulnya ada dua faktor, yaitu faktor yang dalam kendali kita dan
faktor yang dalam luar kendali kita.
Kembalikan ke diri kita masing-masing. Apakah kita termasuk
dalam golongan “victims”? Apakah kita suka dengan kondisi ini? Apakah kondisi
seperti ini membuat hidup kita menjadi lebih baik? Apakah kita mau berubah?
Bila ya, mari kita telaah apa sih maksudnya “Victory”?
“Victory” adalah golongan orang-orang yang berfokus pada apa
yang bisa mereka kendalikan. Mereka menyadari bahwa ada hal-hal yang memang di
luar kendali mereka, dan pada akhirnya mereka hanya berfokus pada apa yang
mereka bisa lakukan atau ubah. Berasarkan hal ini, ada tiga pola pikir dan
perilaku utama yang biasanya ada pada diri seseorang yang “Victory”, yaitu “sense
of ownership (rasa memiliki/ mengambil kendali)”, accountable (dapat
diandalkan), dan responsible (bertanggung jawab).
Tatkala ada suatu kondisi atau keadaan yang tidak sesuai
dengan apa yang dia harapkan, atau ketika dia menghadapi suatu masalah dalam
hidupnya atau di bisnisnya, dengan cepat pola pikirnya akan berkata, “apa yang
saya harus lakukan untuk merubah kondisi ini? Apa dari diri saya yang harus
saya rubah? Apa yang harus saya sesuaikan?” dll. Orang yang memiliki sense of
ownership biasanya juga menyadari bahwa apa pun permasalahan yang muncul,
mereka mungkin memiliki kontribusi terhadap masalah itu, dan begitu mereka
memahaminya, mereka pun mencari tahu apa yang dia bisa lakukan untuk
memperbaikinya.
Dia pun merasa bertanggung jawab (responsible) terhadap apa
yang terjadi, bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakan yang dia lakukan,
begitu pun terhadap hasil yang dia dapat. Dia meyakini, bahwa “apabila saya
berkontribusi dalam menciptakan masalah ini, saya pun mampu berkontribusi untuk
memperbaiki dan menyelesaikannya”.
Seorang pemilik usaha atau pemimpin dalam suatu organisasi
atau perusahaan yang memiliki karakter yang accountable, biasanya dia bisa
diandalkan oleh team atau karyawannya. Mereka bisa diandalkan dalam mengambil
keputusan, dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan, atau dalam memotivasi dirinya
atau team dan karyawannya. Apabila ada team atau karyawannya yang melakukan
kesalahan, dia tidak menyalahkan (blaming), dia justru dengan segera bersikap
sebagai seorang leader yang mau mempertanggung jawabkan kesalahan tersebut ke
dirinya, dan dengan sense of ownership dia pun proaktif untuk menyelesaikan dan
menyempurnakan keadaan agar kesalahan tersebut bisa diperbaiki dan mengambil
pencegahan agar hal tersebut tidak terulang lagi di masa depan. Sekali lagi,
dia berfokus pada apa yang dia bisa ubah.
Setelah kita memahami apa “Victory” itu, apakah kita seperti
itu? Apakah kita mau seperti itu? Apakah berguna untuk kehidupan kita bila kita
menjadi seseorang yang “Victory”? Apakah kita sudah memutuskan dan mengijinkan
diri kita menjadi seorang yang “Victory”? Apakah kita suka? Lalu apa yang perlu
kita lakukan agar “Victory” dalam diri kita menjadi semakin kuat lagi?
Nah, mungkin ada muncul di pikiran kita, “Ya ya, “Victory”
itu memang bagus, saya suka kok dengan konsep itu, tapi kan kenyataannya gak
seperti itu, tapi kan memang ada hal-hal yang tidak bisa kita lakukan, tapi
kan, tapi kan, bla bla bla…” Stop dulu segala pikiran itu, dan tanyakan ke diri
kita, apakah kita memposisikan diri kita sebagai “Victim” atau “Victory”?
Memangnya harus ya kita menjadi “Victory”? Apa harus begitu?
Apakah salah kalau kita sebagai “Victim”? Dalam hal ini saya tidak ingin
memperdebatkan salah benarnya. Setiap orang boleh kok memilih, termasuk memilih
mau jadi “Victim” atau meraih “Victory” dalam hidupnya. Satu hal yang saya
ingin tekankan: apabila kondisi kita sekarang kita sukai, kita bahagia dengan
kondisi ini, dan efektif dan efisien untuk mencapai cita-cita diri kita dan
keluarga kita dunia-akhirat, ya teruskan saja. Bila tidak kenapa harus
dipertahankan? Kondisi "Victim" ataupun "Victory" ini juga sejalan dengan konsep "Perception is Projection".
Kenapa kita tidak beralih ke kondisi lain yang lebih sesuai
dengan cita-cita kita? Paling tidak ada lho pilihan-pilihan lain.
Saya akan mengakhiri cerita saya ini dengan suatu quote yang
bagus sekali:
“The First Principle of Positive Change
is that It’s Your Choice”
What happens when a person lives in abundance?
1. He or she has room and love for other people; there is no competing;
2. He or she has a dramatic sense of self-confidence without arrogance;
3. Wants naturally decrease: There are no compulsions or musts.
Instead of comparing yourself to other people create the habit of comparing yourself to yourself. See how much you have grown, what you have achieved and what progress you have made towards your goals.
This habit has the benefit of creating gratitude, appreciation and kindness towards yourself as you observe how far you have come, the obstacles you have overcome and the good stuff you have done. You feel good about yourself without having to think less of other people.
I am sure that each of us has come
across the word “open mind” in any conversation before. And I am also sure that
each of us has been told by someone else, maybe by our parents, friends,
spouses, bosses, etc., to be an open mind person. Or, perhaps it is you who
always tell someone else to be open minded.
Talking about an open mind is easy.
Telling someone to be open minded is even easier. But do we really know, how to
do it? I mean, how to be open minded? Have you ever told someone how to be open
minded?
I have this experience, when I was
having an argument with someone, until at a point that I started to literally
yell at her with something like, “just for once, could you be open minded, for
God sake?” Then she immediately shouted me back, “So you think I’m not an open
mind? Then tell me, how to be open minded anyway?”
What she said really startled me,
and it kept on lingering in my head, “how to be open minded”
This made me to do a little
research. I began to investigate through any sources, books, even the internet.
Out of many references I found, it came out into one conclusion. There is no
other way of doing it, than to exercise the mind and promote new ways of
thinking about the world around us. The key ingredients are to be open to new
experiences, and changes in previous ways of thinking about these experiences.
There are endless numbers of
activities as an exercise to be an open mind. And I am going to share you some
of them of which I myself have tried to do and got new perspectives out of
them.
The first thing I believe we need to
do is to exercise our sensory systems. Stimulate your ears differently. Try different music you haven’t tried before. Learn to
appreciate it: dangdut, keroncong, gambang kromong, campursari, classical, new
age, rap, country, blues. You don’t have to like it, but if you keep an open
mind, you can still find it interesting. Listen to a radio station you
typically don’t listen to. Music is always interesting.
Then, stimulate your eyes in new ways. Enjoy seeing different things.
Views, landscapes, buildings, forests. Go to an art gallery. Even if you think
it’s bad art, it can still be stimulating and thought provoking.
You can even stimulate your tongue with different types of foods. Try foods
you have never tried, as long as it is halal. Why not? Have you tried sushi?
Have you tried Vietnamese? Sundanese? How about vegetarian food? I actually
found sushi tastes sensasional.
After you exercise your sensory systems, go on with learning something new
and earning a new skill. Basket ball, golf, skydiving, even bungee jumping..Web
design, painting, internet, taichi, yoga…Communication, public speaking..you
name it.
Learn any language that you don’t know. I am quite fortunate that I was
grown up in a multilingual environment. My father speaks English, Arabic, and
French. My mother is fluent with English and Japanese. My uncle, who lived with
our family when I was a child, speaks English, Arabic, and German. So I learnt
a lot from them. By learning other language, you can begin to see the way the
people using the language think. It will surely bring you into a new
perspective.
Improve your creativity. Write a poem, short article, novel…Work on a cross
words and its variations. Try playing scrabbles. It is fun, you know.
Join uncommon and different clubs. Photography, painting, Toastmasters,
Theatre, etc. Learn something from there.
Being open minded means having or showing receptiveness to new and
different ideas or the opinions of others. You can do this by starting to learn
about different people and lifestyles. Remember, just learn it. You don’t have
to be part of it, especially if it is not suitable with your belief system. By
learning, you will widen your perspective. You will be more open minded.
Try to see another person’s perspective. What is important to that person?
So observe them. Put yourself in their shoes.
Have a short conversation with person seated next to you. Just a few
minutes at first. Well, not now. Find out what he or she likes and what he or
she does not like. Listen to them. Practice this several times until the length
of the conversation gradually begins to increase.
Every decision you make in life is based on your belief system. To open
your mind, start with your own fundamental beliefs. Ask yourself why you
believe it. Challenge yourself.
Ask some really good friends what they believe and how they get their
beliefs. Try to understand them.
Well, You can add the list I just mentioned. The basic principle of this
whole exercises is to try and be open, discover new things, learn new skills,
and discover many weird and wonderful facts, pastimes, skills, and so on. Feel
free to be creative, impulsive and open. So try even things which I haven’t
mentioned. Good luck..!
Kerap
kali kita mengalami emosi negatif seperti sedih atau marah, lalu kita menyalurkannya
dengan cara melindungi diri kita atau menyerang. Ini adalah emosi-emosi negatif
yang tidak diharapkan, oleh karena itu kita berusaha untuk menyingkirkannya.
Jauh
di dalam lubuk hati kita, kita tidak ingin melawan, namun kita tidak mau merasa
malu, atau takut, atau marah. Kita merasa layak untuk mendapatkan lebih baik
dari itu, maka kita pun melawan. Dan semakin kita melawan, semakin kita
memperkuat emosi-emosi negatif itu.
Satu-satunya
cara untuk menghilangkannya adalah dengan membiarkannya, jangan melawan. Amati
saja emosi tersebut tanpa menilainya, tanpa kemelekatan, tanpa penolakan.
Pelajarilah.
Apa yang menjadi penyebab di diri kita?
Jangan
salahkan orang lain. Menyalahkan orang lain hanyalah proyeksi dari emosi
negatif kita sendiri secara bawah sadar. Ketika kita menyalahkan orang lain,
kita sebenarnya sedang menyalahkan diri kita sendiri secara bawah sadar, yang
hanya menghasilkan emosi negatif yang lebih besar lagi.
Ini
adalah lingkaran setan, suatu pola yang memerangkap kita jatuh ke lorong yang
sangat dalam.
Kita
tidak bisa marah tanpa menilai, dan kita tidak bisa menilai tanpa berpikir. Pikiran
dan penilaian yang seperti apa yang membangkitkan emosi negatif kita? Temukan
akar masalahnya dan lepaskanlah.
Lakukanlah
hal ini di saat kita merasa bersalah, atau sedih, atau marah, atau emosi-emosi
negatif lainnya.
Seorang kaisar di wilayan Timur Jauh sudah
semakin tua dan mulai berpikir untuk mencari penerusnya. Alih-alih memilih
salah satu dari anak-anaknya, dia memutuskan untuk melakukannya dengan cara
yang berbeda.
Suatu hari, dia memanggil dan mengumpulkan
seluruh anak-anak di kerajaannya. Dia berkata, “Sudah hampir saatnya saya turun
tahta dan memilih kaisar baru. Saya telah memutuskan untuk memilih salah satu
dari kalian.”
Para anak-anak tersebut terkejut! Si kaisar
melanjutkan, “Saya akan memberikan kalian masing-masing sebuah bijih tanaman, bijih
yang sangat spesial. Saya ingin kalian menanam bijih tersebut, sirami tiap hari
dan bawa kemari apa yang tumbuh dari bijih tersebut setahun dari sekarang. Saya
akan menilai apa yang kalian bawa dan akan memilih satu orang sebagai kaisar
berikutnya!”
Seorang anak bernama Ling hadir dalam pengumuman tersebut,
dan dia, seperti juga yang lainnya, menerima sebuah bijih tanaman. Dia pulang
dengan sangat gembira dan menceritakan kepada ibunya. Ibunya memberi Ling
sebuah pot dan tanah untuk menanam bijih tersebut, lalu Ling menyiraminya
dengan hati-hati.
Ling menyirami bijih dalam pot tersebut dan mengamati apa
yang tumbuh tiap hari. Setelah kira-kira 3 minggu, beberapa anak lainnya saling
membicarakan bijih mereka yang sudah mulai tumbuh. Ling tetap memeriksa bijihnya,
namun ternyata tidak ada yang tumbuh. 3 minggu, 4 minggu, 5 minggu telah berlalu.
Masih belum ada yang tumbuh.
Sekarang, sudah banyak anak-anak yang menceritakan tanaman
mereka yang berhasil tumbuh, namun bijih tanaman milik Ling belum tumbuh. Ling
merasa dirinya telah gagal. 6 bulan telah berlalu, masih belum tumbuh apa pun.
Mungkin dia telah merusak bijih tanamannya. Anak-anak lain telah menumbuhkan
tanaman yang bagus-bagus, namun dia tidak berhasil.
Ling tidak berani bercerita kepada
teman-temannya. Dia hanya berharap agar bijihnya segera tumbuh. Setahun sudah
berlalu, dan semua anak-anak besiap untuk membawa tanaman mereka untuk
diperiksa kaisar.
Ling mengatakan pada ibunya bahwa dia tidak berani membawa pot
kosong ke kaisar, namun ibunya berkata dia harus jujur tentang apa yang telah
terjadi. Ling sangat ketakutan, namun dia tahu bahwa ibunya berkata benar.
Dengan memberanikan diri, Ling membawa potnya
yang kosong ke istana. Ketika Ling tiba, dia terkagum-kagum akan berbagai macam
tanaman dan bunga tumbuh di pot anak-anak yang lain. Semuanya indah, dalam
berbagai bentuk dan ukuran. Ling meletakan pot kosongnya di lantai dan banyak
anak-anak mulai mentertawakannya.
Ketika sang kaisar tiba, dia memeriksa seluruh
ruangan dan menyapa anak-anak. Ling berusaha bersembunyi di balik anak-anak
yang lain. “Wow, indah sekali tanaman dan bunga yang kalian pelihara,” kata
sang kaisar. “Hari ini salah satu dari kalian akan ditunjuk sebagai kaisar
berikutnya.”
Tiba-tiba, sang kaisar melihat Ling yang
berdiri di bagian belakang ruangan, memegang potnya yang kosong. Dia
memerintahkan pengawalnya untuk membawa Ling ke depan. Ling ketakutan. “Jangan-jangan
saya akan dibunuh karena gagal.”
Ketika Ling sudah berdiri di depan, sang kaisar
menanyakan namanya. “Nama saya Ling”, dia menjawab. Semua anak mentertawakan
dan mengolok-olok dirinya. Sang kasiar memberi tanda agar semuanya diam.
Dia memandang Ling, dan mengumunkan kepada
semua orang, “Inilah kaisar baru kalian! Namanya adalah Ling!” Ling sangat
terkejut. Dia kan tidak berhasil menumbuhkan tanaman, kok bisa malah ditunjuk
sebagai kaisar yang baru?
Lalu sang kaisar berkata, “Setahun yang lalu,
saya memberikan tiap anak masing-masing sebuah bijih tanaman. Saya menyuruh
kalian untuk menanamnya, menyiraminya, dan membawa kembali ke saya hari ini.
Namun yang saya telah berikan adalah bijih tanaman yang sudah dimasak, yang
tidak mungkin bisa tumbuh. Semuanya, kecuali Ling, telah membawakan saya
tanaman dan bunga. Ketika kalian menyadari bahwa bijih tersebut tidak tumbuh,
kalian menggantinya dengan bijih lain!”
Ling adalah satu-satunya anak yang berani dan
jujur membawa kembali pot yang masih ada bijih tanaman dari saya. Oleh karena
itu, dialah yang akan menjadi kaisar kalian berikutnya..!”
Saya melihatnya sbg pemikiran ttg takdir. Apakah hidup kita ini
murni pilihan kita, atau sudah ditakdirkan oleh Tuhan YME? Can I see it
that way? :)
Saya sempat meyakini konsep hidup adalah pilihan. Cukup lama. Tapi
seiring dgn bertambahnya ilmu dan pengalaman, sekarang saya meyakini bhw
hidup adalah "dipilihkan" :)
Kok bisa? Ok, kita mulai dgn fase paling pertama dari hidup kita.
Apa kita bisa memilih akan lahir dari orang tua yg mana? Keluarga Bakrie
atau Kalla? Atau keluarga pengemis yg sdh 2-3 generasi? Dari sini kita
bicara peluang. Keluarga kaya raya jelas punya peluang sukses lebih
besar. Sementara yg pengemis, bisa bertahan tdk mati kelaparan saja mgkn
sdh bagus. Ok, tapi anak milyarder bisa aja mati muda krn over dosis,
krn salah pergaulan, misalnya. Dan mgkn itu layak utk disebut sbg
pilihan. Tapi ketika anak milyarder yg hidupnya baik2 saja mati
ketabrak, murni krn kelalaian, how do we call it? Ok, orang safety
selalu bilang "kecelakaan bisa dicegah, krn biasanya berawal dari
kelalaian". Dan kelalaian juga mgkn masih bisa disebut sbg pilihan..
Bgmn dgn anak pengemis yg mati muda krn ortunya "memilih (atau
disangka tdk berusaha secara maksimal)" gak mampu memberikan penghidupan
yg layak (makanan bergizi dsb)? IMHO itu jelas bukan pilihan si anak.
Bgmn dgn orang yg lahir dgn penyakit bawaan, seperti leukimia? IMHO
itu juga bukan pilihan ybs. Ofcourse dia tetap bisa memilih berusaha
sembuh/berobat habis2an, always be happy dsb :)
Bgmn dgn pilihan orang lain?
Ketika jembatan tenggarong runtuh, mungkin itu adlh pilihan.
Pejabat yg BARANGKALI memilih korupsi shg kualitas jembatan di bwh
spec.. Tukang yg sdg memperbaiki jembatan yg BARANGKALI menyalahi
prosedur krn memilih bekerja ambil gampangnya aja.. Otoritas lalu lintas
yg memilih jembatan bisa dilalui seperti biasa selama perbaikan tanpa
mengurangi kepadatan lalu lintas.. Semua bisa dilihat sbg pilihan. Tapi
bgmn dgn korban yg ndilalah lewat pas ketika jembatannya ambruk? Lalu
orang yg selamat krn sdh melintas sepersekian detik sebelum jembatan tsb
ambruk, atau yg nyaris aja lewat ketika jembatan mau ambruk? I think -
I'm sure it wasn't a choice. $hit happens. Luck does happen too :)
Saya yakin bhw kita diperintahkan / wajib utk berusaha semaksimal
mgkn dlm hidup. Mgkn ini masalahnya: sering kita lupa memaksimalkan
potensi kita dlm hidup. Kalo ini, saya sepakat. Tapi urusan hasil,
sepenuhnya urusan Tuhan. Dan banyak hal dlm hidup ini yg bukan pilihan
kita tanpa kita mampu menolaknya. Bahkan saya pribadi secara filosofi
meyakini bhw pilihan yg kita ambil sendiri pun sebetulnya sudah
dipilihkan :)
Film yg menarik ttg ini mgkn sekuelnya final destination.. :) What do you - all - think?
Gu$
Jawaban:
Ya ada benarnya, apalagi kalo mindset kita masih fokus pada
apa yang kita tidak bisa ubah, dan lebih parah lagi, fokus pada problem
saja, bukan pada solusi.
OK,
bencana bisa terjadi, kanker karena genetis bisa terjadi, anak kurang
gizi karena minimnya penghasilan orang tua bisa saja terjadi, so what?
Apa kita hanya fokus pada problem-problem itu saja tanpa ada tindakan?
Saya ingat ada seorang mentor saya mengatakan, "Di saat kita memutuskan
untuk menyerah dan berhenti setelah kita telah banyak dan lama melakukan
suatu tindakan, justru sebetulnya keberhasilan itu mulai muncul di
depan matanya". Maksud saya, memang pada akhirnya ada yang namanya
takdir Tuhan YME, dikala Tuhan sudah memutuskan hasilnya. Kemudian,
bagaimana kita tahu bahwa itu sudah keputusan Tuhan atau kita
sebetulnya masih ada jalan untuk mencapai yang lebih baik? Tidak ada
yang tahu, kecuali kita terus dan terus berusaha mencapainya, dan selalu
mensyukuri apa saja yang telah kita peroleh sepanjang perjalan usaha
tersebut.
Well,
jembatan ambruk, pengemudi dan penumpang kendaraan yang jalan disana
meninggal, tentu bukan pilihan mereka untuk mati seperti itu. So what?
Apa kita lalu berhenti dengan mengatakan "itu sudah takdir?" Sekarang,
mari kita challenge pemikiran kita dengan pertanyaan-pertanyaan sbb:
Apa
yang masih bisa kita lakukan setelah peristiwa seperti itu telah
terjadi? Meratapi, menyalahkan, collective action, corrective action,
preventive action, atau apa? Apakah hanya cukup dengan mengatakan: 'shit
happens' dan 'luck happens, too?'
Apa yang
sebaiknya pihak keluarga yang ditinggalkan perlu lakukan setelah
peristiwa itu terjadi? Apakah mereka berkabung terus menerus tanpa
akhir? Atau melanjutkan hidup? Apa yang pemerintah dan para insinyur
jembatan masih bisa lakukan setelah peristiwa itu terjadi?
Apa yang sudah baik mereka lakukan selama ini?
Pelajaran apa yang bisa kita ambil terhadap peristiwa tersebut?
Apa yang perlu ditingkatkan di masa depan?
Artikel
yang saya tulis ini bukan hanya menghimbau kita untuk melakukan
tindakan apa pun untuk merubah apa pun yang kita inginkan secara
eksternal, apalagi tanpa mengindahkan keputusan Tuhan. Justru, saya juga
menekankan bahwa bila kondisi eksternal memang di luar pengaruh kita,
paling tidak, kita bisa mengendalikan apa yang ada di dalam diri kita
(kondisi internal kita), dalam benak kita, akal budi kita, emosi kita,
mood kita, dll.
Anak
kita lahir cacat. Itu sudah terjadi. So what? Apa kita membiarkan
kondisi internal kita dipengaruhi oleh kondisi eksternal yang telah
terjadi tsb? Atau kita bisa memilih untuk merubah kondisi internal kita
menjadi lebih memberdayakan kita dan seluruh keluarga kita? Again, "It's
Your Choise" kok.. ^_^
Banyak
orang telah mengalami frustasi dan keputusasaan menghadapi berbagai hambatan,
halangan, dan rintangan yang tampaknya tak mungkin ditembus, namun toh pada
akhirnya mereka berhasil menciptakan prestasi hebat dan mencapai kepuasan pribadi
yang luar biasa. Satu hal yang serupa dari mereka adalah : “Kita harus membuat
keputusan sadar untuk menciptakan perubahan positif dalam hidup kita”.
Orang-orang yang tidak berhasil justru memiliki
satu sifat yang serupa, mereka fokus pada alasan-alasan mengapa hidup mereka
seperti sekarang, daripada fokus pada apa yang mereka bisa lakukan untuk
merubahnya. Ingat, bahwa “Prinsip Utama
untuk Perubahan yang Positif adalah “Itu Pilihan Anda”
Mereka
yang tidak berhasil cenderung menyalahkan kekurangan mereka pada orang lain,
pada keadaan, pada ekonomi, pada pemerintah, dan pada keluarga mereka, bahkan
pada cuaca, pada penyakit, atau pada hal-hal lain dalam hidup mereka yang
mereka tidak dapat kendalikan. Beberapa alasan untuk “mengapa hidupku seperti
ini!” ada yang cukup masuk akal. Namun alasan-alasan tersebut tidak bisa, dan
tidak akan membantu mereka mendapatkan kepuasan, kebahagiaan, dan kedamaian emosi dan kesejahteraan keuangan.
Contohnya
dalam karir dan bisnis, keadaan ekonomi adalah kondisi yang paling mudah untuk
dijadikan alasan. Ketika kita menyaksikan berita dan mengetahui bahwa kondisi
ekonomi di negara kita jatuh untuk kesekian kali, sungguh kita sangat terggoda
untuk mengatakan, “Bagaimana saya bisa berhasil berbisnis bila kondisi ekonomi
negara seperti ini terus?”
Mungkin
ada alasan-alasan yang ada benarnya. Kondisi ekonomi memang tidak selalu bagus.
Mungkin atasan kita memang brengsek, dan persaingan bisnis memang ada yang
tidak adil. Mungkin memang sulit
untuk membuat keputusan yang betul-betul bisa merubah kita kita! Mungkin
harapan kita tidak masuk akal... Sungguh hidup ini tidak adil!
Mungkin kita pernah mendengar ini sebelumnya.
Berbagai buku dan pelatihan pengembangan diri pun mengakatan hal yang serupa.
Bila kita mau keadaan berubah, mulailah dari diri kita. Daripada membiarkan
semua alasan itu menyeret kita, buatlah keputusan untuk mengambil alih hidup
kita dan membuang semua sampah masa lalu kita untuk selamanya!
Ingatlah, bahwa hampir tiap orang pasti
pernah menghadapi masa-masa sulit dalam hidup mereka. Beberapa orang bahkan
harus menghadapi cobaan yang begitu beratnya dan begitu parahnya, hingga akan
membuat bulu kuduk kita berdiri bila mendengar kisah mereka.
Barang siapa yang mengambil tindakan adalah
yang akan mendapatkan keberhasilan dalam hidup mereka, bahkan ketika tindakan
mereka terkadang salah. Yah, paling tidak hentikan dulu segala rengekan dan
keluhan tentang hal-hal yang tidak kita inginkan. Tidaklah realistis mengharap
segala sesuatu berubah dengan tidak melakukan apa pun.
Agar proses
Coaching berhasil, kita harus betul-betul mau berubah! Apakah kita betul-betul
ingin merubah hal-hal dalam hidup kita yang kita tidak inginkan? Atau, apakah
kita mengatakan kita ingin berubah, selalu membicarakannya, dengan tanpa melakukan
sesuatu sama sekali? “Itu Pilihan Anda”
Mungkin saja sih, ada sedikit kemungkinan
muncul sehingga perubahan yang kita inginkan bisa terwujud dengan sendirinya.
Mungkin ada pria atau wanita milyuner jatuh cinta pada kita dan mau menikah
dengan kita, atau mungkin atasan kita tiba-tiba dipecat atau mengundurkan diri.
Mungkin paman atau keluarga jauh kita ada yang meninggal dan memberikan kita
warisan beberapa ratus milyar. Oh, jangan lupa, kita mungkin akan memenangkan
undian! “Ah, yang bener ajahh..!”
Hampir pasti, hal-hal seperti itu tidak akan
mungkin terjadi. Jadi, hanya ada satu cara agar bisa terwujud, yaitu, bila kita
melakukan sesuatu untuk mewujudkannya.
Nah,
barulah kesulitan muncul, karena kita akan menemukan banyak alasan untuk tidak
melakukan sesuatu. Kita akan melakukan pembenaran untuk tidak melakukan sesuatu
dengan berbagai alasan.
Tindakan
adalah yang kita perlu lakukan, namun kita harus menaklukan penolakan dalam
diri kita. Berpikir untuk berubah itu mudah, namun akan banyak orang yang
mencari-cari alasan untuk tidak mengambil tindakan apa pun. Memang beberapa hal
ada yang di luar kendali kita. Bila ada, jangan ambil pusing! Lupakan hal-hal
yang kita tidak bisa ubah, dan hanya fokus pada hal-hal yang kita bisa ubah dan
kendalikan.
Terkadang
kita memang berada di dalam situasi dimana kita merasa tak berdaya sama sekali,
karena kita tidak bisa merubah apa pun disana. Walupun begitu, selalu ada satu
hal yang kita bisa ubah, yaitu diri kita.
Kita harus mengakui, bahwa kita perlu keberanian untuk merubah diri kita:
keberanian menaklukan ketakutan kita, kemarahan kita, kesedihan, rasa bersalah
tak berujung, dan kekhawatiran akan masa depan.
Bahkan,
kita bisa saja menghilangkan berbagai masalah kesehatan yang dijadikan alasan.
Saya pernah tahu seorang wanita yang “memakai” berbagai penyakitnya bagaikan
perhiasan. “lihatlah saya! Saya menderita _________ (silahkan isi dengan nama
penyakit pilihan Anda). Penyakitnya membuat dia merasa penting dan diperhatikan
orang. Hebat bukan?
Banyak
masalah kesehatan muncul karena pikiran dan perasaan negatif, stres, karena
kesehatan mental akan mempengaruhi kesehatan fisik. Pernahkah mengalami sakit
kepala atau sakit punggung setelah mengalami hari yang buruk? Ini adalah stres
mental yang menciptakan sakit fisik.
Ketika
kita membawa aspek diri kita yang positif dan membangun ke permukaan, dengan
bantuan Coaching, satu dari berbagai hal luar biasa yang akan terjadi adalah,
kita akan menjadi pemimpin yang
lebih efektif. Kepemimpinan ini muncul terhadap berbagai segi: terhadap diri
kita, terhadap kehidupan sosial kita, terhadap keluarga kita, bisnis dan karir,
dan terhadap komunitas kita berada.
Kenangan
akan berbagai pengalaman negatif di masa lalu akan menutupi berbagai kekuatan
diri kita. Dengan mengambil tindakan nyata dan dengan bantuan Coaching, kita
akan merubah berbagai hal negatif di diri kita menjadi suatu sumber daya dan
pembelajaran yang luar biasa. Kita bisa menggunakannya untuk menciptakan masa
depan yang cerah, yang menselaraskan berbagai aspek di diri kita. Keselarasan
ini akan menghasilkan kesuksesan yang kita betul-betul inginkan.
Maka
yang paling pertama kita harus lakukan adalah untuk menyawab:
“Apa yang kita pilih
untuk kita alami di kehidupan kita?”