Komentar:
Interesting indeed.
Saya melihatnya sbg pemikiran ttg takdir. Apakah hidup kita ini
murni pilihan kita, atau sudah ditakdirkan oleh Tuhan YME? Can I see it
that way? :)
Saya sempat meyakini konsep hidup adalah pilihan. Cukup lama. Tapi
seiring dgn bertambahnya ilmu dan pengalaman, sekarang saya meyakini bhw
hidup adalah "dipilihkan" :)
Kok bisa? Ok, kita mulai dgn fase paling pertama dari hidup kita.
Apa kita bisa memilih akan lahir dari orang tua yg mana? Keluarga Bakrie
atau Kalla? Atau keluarga pengemis yg sdh 2-3 generasi? Dari sini kita
bicara peluang. Keluarga kaya raya jelas punya peluang sukses lebih
besar. Sementara yg pengemis, bisa bertahan tdk mati kelaparan saja mgkn
sdh bagus. Ok, tapi anak milyarder bisa aja mati muda krn over dosis,
krn salah pergaulan, misalnya. Dan mgkn itu layak utk disebut sbg
pilihan. Tapi ketika anak milyarder yg hidupnya baik2 saja mati
ketabrak, murni krn kelalaian, how do we call it? Ok, orang safety
selalu bilang "kecelakaan bisa dicegah, krn biasanya berawal dari
kelalaian". Dan kelalaian juga mgkn masih bisa disebut sbg pilihan..
Bgmn dgn anak pengemis yg mati muda krn ortunya "memilih (atau
disangka tdk berusaha secara maksimal)" gak mampu memberikan penghidupan
yg layak (makanan bergizi dsb)? IMHO itu jelas bukan pilihan si anak.
Bgmn dgn orang yg lahir dgn penyakit bawaan, seperti leukimia? IMHO
itu juga bukan pilihan ybs. Ofcourse dia tetap bisa memilih berusaha
sembuh/berobat habis2an, always be happy dsb :)
Bgmn dgn pilihan orang lain?
Ketika jembatan tenggarong runtuh, mungkin itu adlh pilihan.
Pejabat yg BARANGKALI memilih korupsi shg kualitas jembatan di bwh
spec.. Tukang yg sdg memperbaiki jembatan yg BARANGKALI menyalahi
prosedur krn memilih bekerja ambil gampangnya aja.. Otoritas lalu lintas
yg memilih jembatan bisa dilalui seperti biasa selama perbaikan tanpa
mengurangi kepadatan lalu lintas.. Semua bisa dilihat sbg pilihan. Tapi
bgmn dgn korban yg ndilalah lewat pas ketika jembatannya ambruk? Lalu
orang yg selamat krn sdh melintas sepersekian detik sebelum jembatan tsb
ambruk, atau yg nyaris aja lewat ketika jembatan mau ambruk? I think -
I'm sure it wasn't a choice. $hit happens. Luck does happen too :)
Saya yakin bhw kita diperintahkan / wajib utk berusaha semaksimal
mgkn dlm hidup. Mgkn ini masalahnya: sering kita lupa memaksimalkan
potensi kita dlm hidup. Kalo ini, saya sepakat. Tapi urusan hasil,
sepenuhnya urusan Tuhan. Dan banyak hal dlm hidup ini yg bukan pilihan
kita tanpa kita mampu menolaknya. Bahkan saya pribadi secara filosofi
meyakini bhw pilihan yg kita ambil sendiri pun sebetulnya sudah
dipilihkan :)
Film yg menarik ttg ini mgkn sekuelnya final destination.. :) What do you - all - think?
Gu$
Jawaban:
Ya ada benarnya, apalagi kalo mindset kita masih fokus pada
apa yang kita tidak bisa ubah, dan lebih parah lagi, fokus pada problem
saja, bukan pada solusi.
OK,
bencana bisa terjadi, kanker karena genetis bisa terjadi, anak kurang
gizi karena minimnya penghasilan orang tua bisa saja terjadi, so what?
Apa kita hanya fokus pada problem-problem itu saja tanpa ada tindakan?
Saya ingat ada seorang mentor saya mengatakan, "Di saat kita memutuskan
untuk menyerah dan berhenti setelah kita telah banyak dan lama melakukan
suatu tindakan, justru sebetulnya keberhasilan itu mulai muncul di
depan matanya". Maksud saya, memang pada akhirnya ada yang namanya
takdir Tuhan YME, dikala Tuhan sudah memutuskan hasilnya. Kemudian,
bagaimana kita tahu bahwa itu sudah keputusan Tuhan atau kita
sebetulnya masih ada jalan untuk mencapai yang lebih baik? Tidak ada
yang tahu, kecuali kita terus dan terus berusaha mencapainya, dan selalu
mensyukuri apa saja yang telah kita peroleh sepanjang perjalan usaha
tersebut.
Well,
jembatan ambruk, pengemudi dan penumpang kendaraan yang jalan disana
meninggal, tentu bukan pilihan mereka untuk mati seperti itu. So what?
Apa kita lalu berhenti dengan mengatakan "itu sudah takdir?" Sekarang,
mari kita challenge pemikiran kita dengan pertanyaan-pertanyaan sbb:
Apa
yang masih bisa kita lakukan setelah peristiwa seperti itu telah
terjadi? Meratapi, menyalahkan, collective action, corrective action,
preventive action, atau apa? Apakah hanya cukup dengan mengatakan: 'shit
happens' dan 'luck happens, too?'
Apa yang
sebaiknya pihak keluarga yang ditinggalkan perlu lakukan setelah
peristiwa itu terjadi? Apakah mereka berkabung terus menerus tanpa
akhir? Atau melanjutkan hidup? Apa yang pemerintah dan para insinyur
jembatan masih bisa lakukan setelah peristiwa itu terjadi?
Apa yang sudah baik mereka lakukan selama ini?
Pelajaran apa yang bisa kita ambil terhadap peristiwa tersebut?
Apa yang perlu ditingkatkan di masa depan?
Artikel
yang saya tulis ini bukan hanya menghimbau kita untuk melakukan
tindakan apa pun untuk merubah apa pun yang kita inginkan secara
eksternal, apalagi tanpa mengindahkan keputusan Tuhan. Justru, saya juga
menekankan bahwa bila kondisi eksternal memang di luar pengaruh kita,
paling tidak, kita bisa mengendalikan apa yang ada di dalam diri kita
(kondisi internal kita), dalam benak kita, akal budi kita, emosi kita,
mood kita, dll.
Anak
kita lahir cacat. Itu sudah terjadi. So what? Apa kita membiarkan
kondisi internal kita dipengaruhi oleh kondisi eksternal yang telah
terjadi tsb? Atau kita bisa memilih untuk merubah kondisi internal kita
menjadi lebih memberdayakan kita dan seluruh keluarga kita? Again, "It's
Your Choise" kok.. ^_^
No comments:
Post a Comment