Showing posts with label Presuppositions. Show all posts
Showing posts with label Presuppositions. Show all posts

Sunday, April 6, 2014

Keyakinan yang Keliru dalam Bisnis



Keyakinan, atau yang dalam bahasa Inggrisnya disebut belief, adalah sebuah konsep yang kita yakini kebenarannya. Pikiran kita membentuk berbagai keyakinan secara otomatis berdasarkan pola-pola dari pengalaman sehari-hari yang kita terima. Melalui berbagai proses dan filterisasi di benak kita, seperti delesi (menghilangkan), distorsi (memutarbalikan/, dan generalisasi (menyamaratakan), maka berbagai pola yang masuk akan membentuk seperangkat keyakingan yang secara bawah sadar mengendalikan berbagai keputusan dan tindakan kita ke depannya.

Dalam berbagai konteks kehidupan, akan selalu ada seperangkat keyakinan tertanam di benak kita. Misal dalam konteks spiritualitas, keluarga, karir, bisnis, dan lain-lain.

Seringkali, berbagai keyakinan yang tertanam di benak kita tidak sepenuhnya akurat. Hal ini disebabkan adanya berbagai proses filterisasi di atas, lagi pula pengetahuan dan pengalaman kita pun terbatas. Bahkan, hampir seluruh keyakinan yang kita miliki bukanlah fakta. Mereka hanya sekedar keyakinan, yang kita anggap benar walaupun belum atau tidak ada data dan fakta yang mendukungnya.

Pada dasarnya, berbagai keyakinan tersebut bersifat netral adanya. Tidak ada yang benar atau salah. Lebih baik meninjaunya dari apakah keyakinan tersebut efektif atau tidak untuk mencapai berbagai tujuan hidup kita. Bila efektif, silahkan kita pertahankan. Bila tidak, buat apa diyakini terus? Keyakinan yang menghambat untuk mengejar berbagai impian kita biasa disebut limiting beliefs. Keyakingan tersebut sebetulnya bisa kok diganti. Caranya bagaimana? Salah satu cara yang mudah adalah dengan memperluas pengetahuan dan pengalaman kita. Dengan belajar, berbagai keyakinan kita akan semakin akurat sejalan dengan semakin luasnya pengetahuan dan pengalaman yang kita dapat dari banyak orang sepanjang kehidupan mereka.

Bila kita bicara dalam konteks bisnis, ada berbagai limiting beliefs yang biasanya ada di pikiran para pemula dalam berbisnis. Berikut adalah beberapa di antaranya yang paling sering menghambat mereka, dan disertai juga padanan keyakinan yang lebih akurat yang akan membantu para pemula menjalankan bisnis pertama mereka:
  1. Memulai sebuah bisnis itu penuh resiko. Ini adalah keyakinan yang paling banyak menghambat banyak orang untuk berbisnis. Dan keyakinan inilah yang paling bertanggung jawab ketika mereka merasa ragu atau menunda-nunda. Sebetulnya, ketidakpastian itu selalu ada dalam berbagai segi kehidupan. Dalam bisnis, ketidakpastian pun dapat dikelola, dan berbagai resikonya dapat diminimalisir. Pernyataan tadi tentunya jauh lebih memberdayakan bukan?
  2. Supaya bisnis kita sukses, kita harus membuat business plan yang sesempurna mungkin. Karena kita ingin sempurna di awal, maka kita pun membuat business plan yang sangat tebal dengan berbagai macam perhitungan dan analisa. Tahukah Anda? Justru hal itu akan membuat kita semakin lumpuh dan bingung. Menulis sebuah business plan memang penting, dan jauh lebih penting bila kita lebih fokus pada memahami elemen-elemen penting dari bisnis kita. Tidak peduli seberapa besar persiapan kita, akan selalu ada kejutan dan perubahan dalam perjalanan melaksanakannya. Untuk itu, segera tulisnya business plan kita dari apa yang kita pahami sejak awal, lalu perbaikilah saat kita melaksanakannya tanpa harus menunggu sampai sempurna.
  3. Memulai sebuah bisnis selalu butuh modal yang besar. Ini juga merupakan keyakinan yang tidak akurat. Modal bukanlah satu-satunya yang dibutuhkan dalam memulai bisnis. Banyak Pemilik Bisnis berhasil yang tidak diawali dengan modal yang besar. Modal mereka dapatkan secara bertahap sejalan dengan pertumbuhan bisnis mereka. Uang yang sangat besar hanya dibutuhkan ketika kita memang tidak bisa melakukan sesuatu tanpanya, misal membangun pabrik, membeli mesin-mesin produksi sekaligus, dll.
  4. Dalam berbisnis, memiliki jaringan koneksi yang luas itu hal yang utama. Saya mengenal seorang pengusaha yang berhasil di usia muda, bahkan di saat usianya belum mencapai 35 tahun. Beliau memulai bisnis dengan tanpa memiliki jaringan atau koneksi siapa pun. Karena dia anak rantau datang dari desa terpencil ke Jakarta untuk mengubah nasib. Maka, jaringan dan koneksi itu memang penting, dan pengetahuan adalah kunci utamanya agar kita mampu memanfaatkan jaringan dan koneksi sebesar-besarnya.
Di awal sudah dijelaskan bahwa langkah mudah menghilangkan limiting belief dan menggantinya dengan belief yang lebih efektif adalah dengan cara memperluas pengetahuan dan pengalaman kita. Dengan banyak belajar, baik itu dari buku, seminar, pendampingan bisnis, dan lain-lain, merintis usaha pertama kita akan menjadi lebih mudah daripada yang awalnya kita bayangkan. Daripada membuang banyak waktu dan tenaga dengan diliputi rasa khawatir dan ragu, dengan banyak belajar akan membuat kita bebas dari rasa takut dan mulai membuat kemajuan.

Monday, February 17, 2014

Fokuslah pada apa yang Anda BISA Kendalikan

Kebebasan diri dan rasa memiliki hidup yang sangat besar akan menjadi milik kita saat kita mulai melihat diri kita di dunia "Victory" dan bukan dari dunia "Victim". Pikiran, perasaan, Perkataan, dan Perilaku akan menciptakan realitas kita. Tiap langkah yang kita lakukan sangat berarti. Kitalah yang memiliki kendali atas segala yang kita pikirkan, yang artinya kita jugalah yang memiliki kendali atas segala tindakan kita.

Apa yang kita fokuskan dan kepada apa kita pusatkan energi kita tiap harinya akan menentukan hasil-hasil yang kita terima dalam hidup kita. Dengan menerima filosofi ini membuat kita memahami rahasia untuk mengendalikan nasib kita. Tentu, terkadang ada suatu hal yang terjadi yang di luar kendali kita. Daripada melawannya, namun dengan bergulir dengannya, malah akan memberikan hasil-hasil yang paling memungkinkan untuk kita. Dengan kata lain, yang terpenting bukanlah apa yang terjadi dengan diri kita, namun bagimana kita menanggapi (me-response) apa yang sedang terjadi dengan diri kitalah yang sangat berarti. 

Jadi, apa pun yang terjadi, selalu niatkan segala tindakan kita lalu lakukan yang terbaik. Kita tidak akan menikmati hidup kita bila kita tidak menikmati segala tantangan hidup kita. Bila terjadi kesalahan, daripada kita menuduh dan menyalahi orang lain, tanyakan ke diri kita, "Apa yang saya bisa pelajari dari kejadian ini?" dan "Langkah terbaik apa yang saya perlu lakukan selanjutnya?". Dengan berpikir seperti ini, pertumbuhan diri kita lebih terjamin.

Ingin tahu bagaimana memiliki mindset Victory yang lebih lengkap, silahkan baca Cara Mudah Memiliki Mindset "Victory".

Tuesday, December 6, 2011

Coaching bukan menilai atau menghakimi


Dalam beberapa tahun terakhir, coaching (pendampingan) telah ada dan mulai dikenal, dan menjadi suatu profesi. Profesi ini fokus pada teknik-teknik dan metode-metode yang telah dipercaya dalam memberikan hasil-hasil yang positif yang orang-orang cari. Coaching saat ini diartikan secara bebas adalah suatu cara untuk mendukung orang lain dalam pencarian mendapatkan apa yang mereka inginkan, apakah itu suatu sasaran hidup yang spesifik, atau sekedar gaya hidup tertentu yang mereka ingin ciptakan. Belajar meng-coach orang lain akan memberikan manfaat buat kita dan orang lain, dan di lingkungan dimana banyak dari kita menghadapi kehidupan dan kondisi hidup yang kompleks, coaching memiliki kontribusi berharga.

Berdasarkan pengalaman saya pribadi, dan juga berbagai pengamatan dalam proses coaching, saya mulai menyadari adanya sekumpulan asumsi dasar yang mendukung proses coaching, agar coaching semakin besar kemungkinannya untuk berhasil.  Asumsi dasar, atau di NLP biasa disebut presuposisi, berperan sebagai prinsip dasar kita untuk mencapai keefektivitasan dalam menjalankan coaching. Dengan mengacu kepada asumsi dasar, dan membandingkannya dengan keyakinan dan perilaku kita sendiri, kita seringkali dapat menemukan peluang untuk perbaikan dan penyempurnaan. Tatkala proses coaching tidak berhasil, asumsi dasar tersebut juga dapat membantu kita menjelaskan penyebab ketidakberhasilan itu. Beberapa dari presuposisi tersebut berfungsi sebagai aturan bagaimana seorang Coach sebaiknya berperilaku, dan yang lainnya berlaku sebagai suatu sudut pandang apa yang seorang Coach perlu dan tidak perlu lakukan.

Dalam tulisan ini dan beberapa tulisan berikutnya, saya akan menjabarkan beberapa asumsi dasar yang saya rasa penting untuk dipahami dan dijalankan bagi seorang Coach. Asumsi dasar yang pertama yang saya ingin sentuh adalah Coaching bukan menilai atau menghakimi

Sebagai manusia biasa, kita cenderung untuk menilai, menghakimi, bahkan melabel orang lain. Kita membanding-bandingkan penampilan seseorang, bagaimana pola pikir dan perilaku mereka, dengan diri kita sendiri. Kita bisa saja suka atau tidak suka dengan orang lain berdasarkan gaya rambut mereka, pakaian mereka, penampilan mereka, kata-kata  atau bahasa yang mereka gunakan, suara mereka, keyakinan mereka, dll.

Apa yang terjadi bila seorang Coach sudah langsung tidak menyukai atau menilai kliennya? Bagaimana bila ada perilaku klien kita yang belum-belum sudah kita label ‘buruk’? Mari kita untuk tidak memperdebatkan perilaku yang seperti apa sih yang baik dan yang buruk, namun sebagai seorang Coach, rasa tidak suka, apa pun itu bentuknya, bakalan mengganggu kesempurnaan kita memfasilitasi proses coaching. Apalagi, ketidaksukaan kita cepat atau lambat akan diketahui klien kita, entah kita nyatakan atau tidak. Hal ini karena kita tidak bisa melihat klien kita secara obyektif.

Bila kita tidak melihat klien secara obyektif, dengan pikiran terbuka tanpa pretensi apa-apa, kita cenderung sulit memahami mereka, yang akan memberikan dampak terhadap hubungan kita dengan klien, dan pada akhirnya mengurangi kemampuan kita untuk melibatkan mereka dalam coaching. Klien kita akan mulai menyadari ketidaksukaan kita, mungkin dari ekspresi wajah kita, tekanan suara kita, bahasa tubuh kita, atau sekedar gaya bahasa yang kita gunakan, sehingga membuat klien kita waspada bahkan mulai menutup diri. Apalagi bila kita mulai bertindak untuk ‘memperbaiki’ klien, mereka akan defensif dan merasa tidak nyaman dengan kita, tentunya hal ini akan sangat mempengaruhi penilaian mereka akan manfaat coaching dengan kita.

Menilai atau menghakimi klien akan menjadi hambatan kita. Oleh karena itu, seorang Coach perlu bertindak secara obyektif terhadap klien, tanpa penilaian, tanpa melabel. Tatkala seorang Coach menjaga posisi yang netral dan terbuka, kita akan besar kemungkinan untuk bisa mengumpulkan banyak informasi yang lebih jelas sehingga akan mendapatkan sudut pandang yang lebih relevan terhadap situasi klien. Pikiran kita akan menjadi lebih terang, merasa lebih tenang, betul-betul hadir disana untuk klien.

Peran seorang Coach bukanlah sebagai hakim tentang bagaimana klien kita menjalani hidup mereka. Peran seorang Coach adalah menemukan kaitan yang jelas antara perilaku mereka dengan hasil atau tujuan yang mereka inginkan.

Bagaimana rasanya sikap tidak menilai atau tidak menghakimi itu? Sederhana saja, bersikap tanpa menghakimi rasanya seperti tidak merasakan apa-apa, karena memang tidak ada apa-apa yang terjadi di dalam tubuh kita! Tidak ada internal dialog di dalam kepala kita sepanjang proses coaching, kening kita tidak berkerut, tidak menggelengkan kepala, dan tidak ada bahasa tubuh atau mengeluarkan suara ‘ketidaksetujuan’. Kita akan benar-benar mendengarkan, dan tetap hadir dalam aliran percakapan dengan klien.

Yang kita harapkan adalah, akan munculnya rasa keingintahuan yang positif terhadap apa yang sedang dibicarakan dan terhadap apa yang dialami klien. Kita akan berusaha memahami apa yang sebetulnya sedang atau telah terjadi pada klien, mana yang relevan dan penting dari hal itu ketika dikaitkan kepada sasaran klien. Dengan begitu, kualitas coaching kita akan sangat bermanfaat bagi kita sendiri dan bagi klien kita.

-Bersambung-

Wednesday, February 23, 2011

Perception is projection

Pernyataan ini berasal dari Carl Gustav Jung, seorang psikoterapis dan psikitater dari Swiss.

Apa yang dimaksud dengan pernyataannya itu adalah bahwa apa yang kita lihat atau rasakan di diri orang lain atau penilaian apa yang kita berikan pada orang lain (apakah itu penilaian positif atau negatif) adalah apa yang ada pada diri kita atau apa yang kita secara tidak sadar butuhkan yang kita proyeksikan pada mereka.

Ini berasal dari pemahaman bahwa untuk bisa mengenali perilaku atau sifat tertentu pada orang lain, struktur perilaku atau sifat itu harus ada atau merupakan apa yang kita butuhkan di dalam diri kita juga. Apa yang kita lihat pada orang lain adalah refleksi dari diri kita sendiri.

Berikut adalah tiga contoh kejadian dan apa yang mungkin merupakan proyeksinya:

1.  Kejadian: Rudi mengeluh bahwa atasannya tidak menyukainya karena atasannya tersebut tidak pernah menghargai hasil kerjanya.
Kemungkinan yang Rudi Proyeksikan: Mungkin Rudi memiliki kebutuhan untuk dihargai dalam pekerjaan.
2.  Kejadian: Nina, saat memberikan suatu pelatihan di kantornya, merasa sebal dengan salah seorang peserta yang berasal dari departemen marketing yang sepertinya sibuk sendiri dan tidak memperhatikan pelajaran yang dia sedang berikan.
Kemungkinan yang Nina Proyeksikan: Mungkin Nina adalah seorang yang terlalu fokus dengan apa yang dia kejar dengan cara tidak menghargai atau memperhatikan kebutuhan team-nya.
3.   Kejadian: Tini menegur temannya karena dia terlalu sering menghamburkan uang untuk berbelanja pakaian.
    Kemungkinan yang Tini Proyeksikan: Tini sedang merasa tidak aman secara finansial.

Kita bisa lihat dari ketiga contoh di atas, bahwa apa yang mereka persepsikan mengenai orang lain adalah proyeksi dari apa yang ada di diri mereka saat itu. Ketika kita melakukan penilaian seperti itu mengenai orang lain, ada kecenderungan kita berada dalam posisi “Victim”, dan bukan dalam posisi “Victory” dalam kehidupan kita sendiri.

Lalu bagaimana sebaiknya sikap kita? Manakala kita sedang dalam kondisi menilai perilaku atau karakter orang lain, segera sadari hal itu sebagai suatu umpan balik ke pada diri kita sendiri. Gunakanlah pertanyaan ini pada diri kita, “Apa yang perilaku atau sifat dari orang tersebut yang juga sesuai dengan keadaan kita sendiri?” Sebagai latihan, silahkan kita ingat-ingat suatu peristiwa, entah itu di tempat kerja atau di tempat lain, saat melakukan penilaian atau mengkritisi orang lain. Diam sejenak dan evaluasi peristiwa tersebut dengan bertanya pada diri kita sendiri, “Hal apa yang sebetulnya saya butuhkan yang saya lihat dari orang itu?” “Apa yang dari orang tersebut tunjukan yang merupakan hal yang sama di diri saya?”

Di saat kita menyadari, ini merupakan suatu pencerahan besar terhadap apa yang kita bisa sadari dari diri kita dan ketika kita sudah menyadarinya, hanya kitalah yang mampu merubah kondisi internal kita.

Pelajaran dari hal ini adalah di saat kita merasa tidak senang atau tidak suka dengan orang lain, hanya ada satu tempat untuk mendapatkan jawaban bagaimana mengatasinya, yaitu dengan melihat ke dalam diri kita sendiri. Ketika kita merubah persepsi di dalam diri kita, tiba-tiba dunia di sekitar kita, termasuk pandangan kita terhadap orang yang kita tidak suka, pun ikut berubah.

Tuesday, May 25, 2010

Perception is Projection

Salah satu presuposisi yang saya dapatkan semenjak mendalami NLP adalah "The perception is projection". Maksud dari presuposisi ini adalah, bahwa kita melihat segala hal di luar kita bukan melihat apa adanya, namun kita melihatnya berdasarkan apa yang sesuai menurut kita. Dengan presuposisi ini, kita belajar memahami bahwa apa yang kita yakini sebagai suatu "kenyataan" atau "kebenaran", adalah berdasarkan informasi-informasi yang kita dapat setelah mereka melalui berbagai fliter yang ada di benak kita. Informasi yang kita pegang terebut akhirnya menjadi peta di benak kita.

Agar bisa memahami lebih jauh, mari kita mulai dengan membahas tentang salah satu filter tersebut, yaitu yang disebut proses generalisasi. Misalkan di saat kita pertama kali mengenal sebuah pintu. Semenjak kita mengetahui apa itu pintu, benak kita pun melakukan generalisasi terhadap semua pintu, dan bagaimana semua pintu itu berfungsi. Ini disebut peta kita tentang seluruh pintu.

Di saat kita menjumpai sebuah pintu yang lain, daripada kita belajar mengenali pintu tersebut dari awal lagi, kita akan mengacu pada peta kita tentang pintu yang telah kita susun sebelumnya, lalu menerapkan peta tersebut, atau kita memproyeksikannya kepada pintu yang sedang ada di hadapan kita ini. Sehingga kita memiliki keyakinan bahwa pintu ini akan sama saja dengan pintu yang ada di peta pikiran kita, memiliki berbagai sifat-sifat pintu yang sama, dan akan menunjukan cara kerja yang sama pula.

Tentunya manusia lebih kompleks daripada sebuah pintu. Dalam upaya untuk memahami dunia ini, kita sebagai manusia akan memberi arti (meaning) pada berbagai hal dan peristiwa di dunia. Bila kita memahami bahwa setiap manusia adalah unik, maka hal ini berarti bahwa setiap peta yang ada di benak setiap manusia juga unik, berbeda-beda, sehingga ketika masing-masing manusia berusaha memahami berbagai kejadian, mereka pun memberi arti berdasarkan peta mereka sendiri.

Dalam upaya kita untuk memahami orang lain, kita akan memberi arti terhadap tindakan-tindakan dan perilaku mereka, serta apa yang mereka komunikasikan, menurut peta di benak kita.

Cara ini memang berguna, dan juga membatasi kita. Apa yang kita proyeksikan ke orang lain, yaitu arti-arti yang kita berikan kepada dunia dan sekitar kita, ditimbulkan dari dalam diri kita. Kita memproyeksikan diri kita kepada sekitar kita, kepada orang lain, dan kepada dunia, sehingga akhirnya kita melihat segala hal berdasarkan apa yang sesuai menurut kita, bukan secara apa adanya.

Dengan menerima presuposisi the perception is projection ini, maka kemampuan kita menggunakan panca indra kita akan meningkat pesat, kita akan bisa berkomunikasi dengan lebih efektif, dan akan menimbulkan perilaku ingin tahu yang sangat berguna, yang akan membawa kita ke berbagai temuan-temuan hidup yang luar biasa.

Dengan menghormati peta dunia orang lain, atau bahkan dengan memasuki peta dunia orang lain untuk sementara waktu, potensi kemampuan interpersonal kita pun akan meningkat secara eksponensial.

Dengan menahan diri kita terhadap kecenderungan untuk melihat dunia ini hanya berdasarkan apa yang sesuai menurut kita, kita akan mendapatkan berbagai keuntungan tak terhitung untuk selalu memperkaya dan menyempurnakan peta benak kita.

Friday, May 18, 2007

Behind every behavior is a positive intention

There are some assumptions about human nature - not truths, they tell us. But some principles that - if you act like these statements are true - you will get along better with people and be more effective with them.

These assumptions are called "Presuppositions."

Most of them are easy to say "Of course" to, and that's that. But there are a couple about universal human nature that are hard to get into my DNA.

And what makes it even tougher is, I believe that these Presuppositions are absolutely and universally true! To call them "useful" instead of "true" is for me, a copout. However, just because a principle may be true doesn't make it easy to swallow.

In fact, many of the most important things ever said about human nature got the people who said it crucified, or burned at the stake, or imprisoned. I guess if you start saying nice things about human nature, you're selling in a tough market!

For example, there's a presupposition that we're taught in NLP that goes like this - and you may have heard it differently, so I'll give you several versions:

"People always make the best choice they can, given what they know at that moment."

Here's another version:

"Behind every behavior is a positive intention."

These presuppositions are about humans and about how we all work. That's right, how we ALL work.

That means Nazi and Jews, Israeli and Palestinian. All of us, good guys and the ones causing trouble for the good guys.

Even those in caves in Afghanistan, or the ones killing each other in Iraq.

Every one of them, doing the best they can in the moment, given what they know and believe.

Now, BIG qualification here. It DOESN'T mean that all the bad things people do is okay - far from it.

But what it means - and this is important for you if you want to be able to see people for who they really are - that NO ONE SETS OUT TO BE THE VILLAIN OF THE PLAY! THEY'RE ALL DOING THE BEST THEY CAN AT THE MOMENT.

I think that for many people, life is a lot simpler when people with different values from them are jerks or clowns, and when the people with a different culture or history are just foreigners or terrorists.

Or "gooks." Or "ragheads."

But the difficult thing about a better understanding of human nature is that it's not easy anymore. You have to let go of the comic book lens through which you view the world. The change can take effort, and be a little uncomfortable.

Then a wonderful thing happens when you let people change in front of your eyes, into mothers, fathers, lovers, dreamers, workers, warriors and heroes. Just the way they see themselves.

Just like you.

That's right. Just like you see yourself, even though -- in some part of this planet -- there's a newspaper telling people that you are part of Satan's empire out to destroy their way of life.

So, that presupposition about how everyone is doing the best they can, given what they know at that moment. That applies to me, and to you, and to all of us. And when you apply it, you gain a most fortunate ability.

You get to step out of your conditioning and your fear and your anger, and you begin to see others with the multiple lenses that humans are capable of using. You may even gain some new understanding of others, and most importantly of yourself. And, I think you grow in spirit just a little.

Stretching is actually kind of uncomfortable, but it's the only way there is to increase your reach.