Sebelum saya memulai, silahkan lihat dan amati video pada
link berikut:
Setelah Anda mengamati video tersebut, silahkan jawab
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:
- 1. Apa setting dari video itu?
- 2. Siapa saja karakter kunci dalam video itu?
- 3. Apa yang terjadi pada karakter kunci tersebut?
- 4. Bagaimana Anda menilai reaksi dari karakter kunci itu?
- 5. Apa yang seharusnya karakter kunci dalam video itu lakukan?
- 6. Apakah Anda pernah mengalami kejadian dalam hidup Anda, yang seperti digambarkan dalam video itu? Silahkan refleksikan ke diri Anda sendiri.
Teman-teman, dalam dunia ini, ada dua golongan besar
manusia. Yang pertama ada golongan manusia yang saya sebut sebagai “Victims”.
Yang kedua adalah mereka yang masuk ke golongan “Victory”.
Mungkin Anda bertanya-tanya, apa sih maksudnya? Atau, dari
kedua istilah tersebut Anda sudah punya gambaran apa maknanya?
Nah, mari kita mulai dengan istilah “Victims”. Orang-orang
yang memposisikan dirinya sebagai “Victims”, pada dasarnya adalah mereka yang
menganggap diri mereka sebagai korban, atau secara lebih jelasnya mereka merasa
sebagai korban keadaan, korban lingkungan, korban perasaan, dan lain-lainnya.
Kebahagiaan atau keberhasilan bagi mereka sangat dipengaruhi kondisi lingkungan
atau keadaan dimana mereka alami pada suatu saat tertentu. Mereka yang masuk
dalam kondisi “Victims” adalah mereka yang biasanya memiliki pola pikir dan
perilaku “blaming (menyalahkan)”, “excuses (memberikan alas an-alasan)”, dan
“denial (penyangkalan)”. Mungkin ada pola pikir dan perilaku lainnya, namun
saya rasa semuanya bermuara ke ketiga hal di atas.
Apa yang dimaksud dengan “blaming”? Seseorang yang seperti
itu bila tidak berhasil mencapai apa yang dia inginkan cenderung untuk
menyalahkan atau menuduh kondisinya kepada orang lain, rekan kerja, atasan,
bawahan, keluarganya, keadaan, perekonomian, pemerintah, cuaca, atau apa pun
yang dia tidak bisa kendalikan. Menurut dia, “merekalah yang bersalah, semua
ini gara-gara mereka, kalau bukan mereka saya tidak akan seperti ini”, dll.
Ketika menurut dia tidak ada yang cocok untuk dipersalahkan,
dia pun mulai membuat alasan-alasan mengapa suatu hal tidak berhasil. Kebanyakan alasan-alasan tersebut hanyalah
persepsi dia saja, berdasarkan sudut pandang dia dan tidak (mau) melihat dari
sudut pandang lainnya. Fakta-fakta yang dia beberkan dia tambahkan dengan
pernyataan-pernyataan yang hanya mendukung persepsi dia. Apabila ada fakta baru
yang membantah persepsinya, dengan mati-matian dia menyangkal dan membeberkan
lagi alasan-alasan lain yang mendukung persepsi dia.
Mungkin dia tidak suka menuduh, atau kondisinya tidak
memungkinkan dia untuk membuat alasan. Lalu apa yang dia lakukan? Akhirnya dia
menyangkal. Apa artinya? Misalkan seseorang yang menyadari bahwa bisnisnya
tidak berkembang selama beberapa tahun belakangan ini malah berkata, “Ah, gak
usah neko-neko, saya sudah bersyukur dengan kondisi yang ada. Yang penting
karyawan saya mendapat gaji, ada profit, pelanggan saya happy happy kok, dan
semua baik-baik saja”. Seseorang yang
hanya lulus SD atau SMP, bukannya berpikir bagaimana caranya untuk meningkatkan
pengetahuan atau keahlian dia, malah berpikir, “sudahlah, saya kan hanya
lulusan SD/SMP, gak usah macam-macam, saya cari saja pekerjaan yang sesuai
dengan pendidikan saya, gak mungkinlah mendapatkan posisi pekerjaan tinggi,”
dll.
Teman-teman, karakteristik utama dari golongan “Victims”
adalah, mereka hanya berfokus pada apa yang mereka tidak bisa kendalikan.
Sedikit sekali atau tak pernah muncul dalam perhatian mereka bahwa apa yang
terjadi itu sebetulnya ada dua faktor, yaitu faktor yang dalam kendali kita dan
faktor yang dalam luar kendali kita.
Kembalikan ke diri kita masing-masing. Apakah kita termasuk
dalam golongan “victims”? Apakah kita suka dengan kondisi ini? Apakah kondisi
seperti ini membuat hidup kita menjadi lebih baik? Apakah kita mau berubah?
Bila ya, mari kita telaah apa sih maksudnya “Victory”?
“Victory” adalah golongan orang-orang yang berfokus pada apa
yang bisa mereka kendalikan. Mereka menyadari bahwa ada hal-hal yang memang di
luar kendali mereka, dan pada akhirnya mereka hanya berfokus pada apa yang
mereka bisa lakukan atau ubah. Berasarkan hal ini, ada tiga pola pikir dan
perilaku utama yang biasanya ada pada diri seseorang yang “Victory”, yaitu “sense
of ownership (rasa memiliki/ mengambil kendali)”, accountable (dapat
diandalkan), dan responsible (bertanggung jawab).
Tatkala ada suatu kondisi atau keadaan yang tidak sesuai
dengan apa yang dia harapkan, atau ketika dia menghadapi suatu masalah dalam
hidupnya atau di bisnisnya, dengan cepat pola pikirnya akan berkata, “apa yang
saya harus lakukan untuk merubah kondisi ini? Apa dari diri saya yang harus
saya rubah? Apa yang harus saya sesuaikan?” dll. Orang yang memiliki sense of
ownership biasanya juga menyadari bahwa apa pun permasalahan yang muncul,
mereka mungkin memiliki kontribusi terhadap masalah itu, dan begitu mereka
memahaminya, mereka pun mencari tahu apa yang dia bisa lakukan untuk
memperbaikinya.
Dia pun merasa bertanggung jawab (responsible) terhadap apa
yang terjadi, bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakan yang dia lakukan,
begitu pun terhadap hasil yang dia dapat. Dia meyakini, bahwa “apabila saya
berkontribusi dalam menciptakan masalah ini, saya pun mampu berkontribusi untuk
memperbaiki dan menyelesaikannya”.
Seorang pemilik usaha atau pemimpin dalam suatu organisasi
atau perusahaan yang memiliki karakter yang accountable, biasanya dia bisa
diandalkan oleh team atau karyawannya. Mereka bisa diandalkan dalam mengambil
keputusan, dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan, atau dalam memotivasi dirinya
atau team dan karyawannya. Apabila ada team atau karyawannya yang melakukan
kesalahan, dia tidak menyalahkan (blaming), dia justru dengan segera bersikap
sebagai seorang leader yang mau mempertanggung jawabkan kesalahan tersebut ke
dirinya, dan dengan sense of ownership dia pun proaktif untuk menyelesaikan dan
menyempurnakan keadaan agar kesalahan tersebut bisa diperbaiki dan mengambil
pencegahan agar hal tersebut tidak terulang lagi di masa depan. Sekali lagi,
dia berfokus pada apa yang dia bisa ubah.
Setelah kita memahami apa “Victory” itu, apakah kita seperti
itu? Apakah kita mau seperti itu? Apakah berguna untuk kehidupan kita bila kita
menjadi seseorang yang “Victory”? Apakah kita sudah memutuskan dan mengijinkan
diri kita menjadi seorang yang “Victory”? Apakah kita suka? Lalu apa yang perlu
kita lakukan agar “Victory” dalam diri kita menjadi semakin kuat lagi?
Nah, mungkin ada muncul di pikiran kita, “Ya ya, “Victory”
itu memang bagus, saya suka kok dengan konsep itu, tapi kan kenyataannya gak
seperti itu, tapi kan memang ada hal-hal yang tidak bisa kita lakukan, tapi
kan, tapi kan, bla bla bla…” Stop dulu segala pikiran itu, dan tanyakan ke diri
kita, apakah kita memposisikan diri kita sebagai “Victim” atau “Victory”?
Memangnya harus ya kita menjadi “Victory”? Apa harus begitu?
Apakah salah kalau kita sebagai “Victim”? Dalam hal ini saya tidak ingin
memperdebatkan salah benarnya. Setiap orang boleh kok memilih, termasuk memilih
mau jadi “Victim” atau meraih “Victory” dalam hidupnya. Satu hal yang saya
ingin tekankan: apabila kondisi kita sekarang kita sukai, kita bahagia dengan
kondisi ini, dan efektif dan efisien untuk mencapai cita-cita diri kita dan
keluarga kita dunia-akhirat, ya teruskan saja. Bila tidak kenapa harus
dipertahankan? Kondisi "Victim" ataupun "Victory" ini juga sejalan dengan konsep "Perception is Projection".
Kenapa kita tidak beralih ke kondisi lain yang lebih sesuai
dengan cita-cita kita? Paling tidak ada lho pilihan-pilihan lain.
Saya akan mengakhiri cerita saya ini dengan suatu quote yang
bagus sekali:
“The First Principle of Positive Change
is that It’s Your Choice”
Semoga sukses dalam hidup dan karir kita.
Silahkan lanjut ke tulisan Cara Mudah Memiliki Mindset "Victory"
Silahkan lanjut ke tulisan Cara Mudah Memiliki Mindset "Victory"
No comments:
Post a Comment