Tuesday, January 29, 2013

Mau jadi "Victim" atau "Victory"?


Sebelum saya memulai, silahkan lihat dan amati video pada link berikut:




Setelah Anda mengamati video tersebut, silahkan jawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:
  • 1.       Apa setting dari video itu?
  • 2.       Siapa saja karakter kunci dalam video itu?
  • 3.       Apa yang terjadi pada karakter kunci tersebut?
  • 4.       Bagaimana Anda menilai reaksi dari karakter kunci itu?
  • 5.       Apa yang seharusnya karakter kunci dalam video itu lakukan?
  • 6.  Apakah Anda pernah mengalami kejadian dalam hidup Anda, yang seperti digambarkan dalam video itu? Silahkan refleksikan ke diri Anda sendiri.

Teman-teman, dalam dunia ini, ada dua golongan besar manusia. Yang pertama ada golongan manusia yang saya sebut sebagai “Victims”. Yang kedua adalah mereka yang masuk ke golongan “Victory”.

Mungkin Anda bertanya-tanya, apa sih maksudnya? Atau, dari kedua istilah tersebut Anda sudah punya gambaran apa maknanya?

Nah, mari kita mulai dengan istilah “Victims”. Orang-orang yang memposisikan dirinya sebagai “Victims”, pada dasarnya adalah mereka yang menganggap diri mereka sebagai korban, atau secara lebih jelasnya mereka merasa sebagai korban keadaan, korban lingkungan, korban perasaan, dan lain-lainnya. 

Kebahagiaan atau keberhasilan bagi mereka sangat dipengaruhi kondisi lingkungan atau keadaan dimana mereka alami pada suatu saat tertentu. Mereka yang masuk dalam kondisi “Victims” adalah mereka yang biasanya memiliki pola pikir dan perilaku “blaming (menyalahkan)”, “excuses (memberikan alas an-alasan)”, dan “denial (penyangkalan)”. Mungkin ada pola pikir dan perilaku lainnya, namun saya rasa semuanya bermuara ke ketiga hal di atas.

Apa yang dimaksud dengan “blaming”? Seseorang yang seperti itu bila tidak berhasil mencapai apa yang dia inginkan cenderung untuk menyalahkan atau menuduh kondisinya kepada orang lain, rekan kerja, atasan, bawahan, keluarganya, keadaan, perekonomian, pemerintah, cuaca, atau apa pun yang dia tidak bisa kendalikan. Menurut dia, “merekalah yang bersalah, semua ini gara-gara mereka, kalau bukan mereka saya tidak akan seperti ini”, dll.

Ketika menurut dia tidak ada yang cocok untuk dipersalahkan, dia pun mulai membuat alasan-alasan mengapa suatu hal tidak berhasil.  Kebanyakan alasan-alasan tersebut hanyalah persepsi dia saja, berdasarkan sudut pandang dia dan tidak (mau) melihat dari sudut pandang lainnya. Fakta-fakta yang dia beberkan dia tambahkan dengan pernyataan-pernyataan yang hanya mendukung persepsi dia. Apabila ada fakta baru yang membantah persepsinya, dengan mati-matian dia menyangkal dan membeberkan lagi alasan-alasan lain yang mendukung persepsi dia.

Mungkin dia tidak suka menuduh, atau kondisinya tidak memungkinkan dia untuk membuat alasan. Lalu apa yang dia lakukan? Akhirnya dia menyangkal. Apa artinya? Misalkan seseorang yang menyadari bahwa bisnisnya tidak berkembang selama beberapa tahun belakangan ini malah berkata, “Ah, gak usah neko-neko, saya sudah bersyukur dengan kondisi yang ada. Yang penting karyawan saya mendapat gaji, ada profit, pelanggan saya happy happy kok, dan semua baik-baik saja”.  Seseorang yang hanya lulus SD atau SMP, bukannya berpikir bagaimana caranya untuk meningkatkan pengetahuan atau keahlian dia, malah berpikir, “sudahlah, saya kan hanya lulusan SD/SMP, gak usah macam-macam, saya cari saja pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan saya, gak mungkinlah mendapatkan posisi pekerjaan tinggi,” dll.

Teman-teman, karakteristik utama dari golongan “Victims” adalah, mereka hanya berfokus pada apa yang mereka tidak bisa kendalikan. Sedikit sekali atau tak pernah muncul dalam perhatian mereka bahwa apa yang terjadi itu sebetulnya ada dua faktor, yaitu faktor yang dalam kendali kita dan faktor yang dalam luar kendali kita.




Kembalikan ke diri kita masing-masing. Apakah kita termasuk dalam golongan “victims”? Apakah kita suka dengan kondisi ini? Apakah kondisi seperti ini membuat hidup kita menjadi lebih baik? Apakah kita mau berubah? Bila ya, mari kita telaah apa sih maksudnya “Victory”?

“Victory” adalah golongan orang-orang yang berfokus pada apa yang bisa mereka kendalikan. Mereka menyadari bahwa ada hal-hal yang memang di luar kendali mereka, dan pada akhirnya mereka hanya berfokus pada apa yang mereka bisa lakukan atau ubah. Berasarkan hal ini, ada tiga pola pikir dan perilaku utama yang biasanya ada pada diri seseorang yang “Victory”, yaitu “sense of ownership (rasa memiliki/ mengambil kendali)”, accountable (dapat diandalkan), dan responsible (bertanggung jawab).

Tatkala ada suatu kondisi atau keadaan yang tidak sesuai dengan apa yang dia harapkan, atau ketika dia menghadapi suatu masalah dalam hidupnya atau di bisnisnya, dengan cepat pola pikirnya akan berkata, “apa yang saya harus lakukan untuk merubah kondisi ini? Apa dari diri saya yang harus saya rubah? Apa yang harus saya sesuaikan?” dll. Orang yang memiliki sense of ownership biasanya juga menyadari bahwa apa pun permasalahan yang muncul, mereka mungkin memiliki kontribusi terhadap masalah itu, dan begitu mereka memahaminya, mereka pun mencari tahu apa yang dia bisa lakukan untuk memperbaikinya.

Dia pun merasa bertanggung jawab (responsible) terhadap apa yang terjadi, bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakan yang dia lakukan, begitu pun terhadap hasil yang dia dapat. Dia meyakini, bahwa “apabila saya berkontribusi dalam menciptakan masalah ini, saya pun mampu berkontribusi untuk memperbaiki dan menyelesaikannya”.

Seorang pemilik usaha atau pemimpin dalam suatu organisasi atau perusahaan yang memiliki karakter yang accountable, biasanya dia bisa diandalkan oleh team atau karyawannya. Mereka bisa diandalkan dalam mengambil keputusan, dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan, atau dalam memotivasi dirinya atau team dan karyawannya. Apabila ada team atau karyawannya yang melakukan kesalahan, dia tidak menyalahkan (blaming), dia justru dengan segera bersikap sebagai seorang leader yang mau mempertanggung jawabkan kesalahan tersebut ke dirinya, dan dengan sense of ownership dia pun proaktif untuk menyelesaikan dan menyempurnakan keadaan agar kesalahan tersebut bisa diperbaiki dan mengambil pencegahan agar hal tersebut tidak terulang lagi di masa depan. Sekali lagi, dia berfokus pada apa yang dia bisa ubah.

Setelah kita memahami apa “Victory” itu, apakah kita seperti itu? Apakah kita mau seperti itu? Apakah berguna untuk kehidupan kita bila kita menjadi seseorang yang “Victory”? Apakah kita sudah memutuskan dan mengijinkan diri kita menjadi seorang yang “Victory”? Apakah kita suka? Lalu apa yang perlu kita lakukan agar “Victory” dalam diri kita menjadi semakin kuat lagi?




Nah, mungkin ada muncul di pikiran kita, “Ya ya, “Victory” itu memang bagus, saya suka kok dengan konsep itu, tapi kan kenyataannya gak seperti itu, tapi kan memang ada hal-hal yang tidak bisa kita lakukan, tapi kan, tapi kan, bla bla bla…” Stop dulu segala pikiran itu, dan tanyakan ke diri kita, apakah kita memposisikan diri kita sebagai “Victim” atau “Victory”?

Memangnya harus ya kita menjadi “Victory”? Apa harus begitu? Apakah salah kalau kita sebagai “Victim”? Dalam hal ini saya tidak ingin memperdebatkan salah benarnya. Setiap orang boleh kok memilih, termasuk memilih mau jadi “Victim” atau meraih “Victory” dalam hidupnya. Satu hal yang saya ingin tekankan: apabila kondisi kita sekarang kita sukai, kita bahagia dengan kondisi ini, dan efektif dan efisien untuk mencapai cita-cita diri kita dan keluarga kita dunia-akhirat, ya teruskan saja. Bila tidak kenapa harus dipertahankan? Kondisi "Victim" ataupun "Victory" ini juga sejalan dengan konsep "Perception is Projection".

Kenapa kita tidak beralih ke kondisi lain yang lebih sesuai dengan cita-cita kita? Paling tidak ada lho pilihan-pilihan lain.

Saya akan mengakhiri cerita saya ini dengan suatu quote yang bagus sekali:

The First Principle of Positive Change is that It’s Your Choice

Semoga sukses dalam hidup dan karir kita.

Silahkan lanjut ke tulisan Cara Mudah Memiliki Mindset "Victory"

No comments: