Setelah Anda membaca tulisan saya di link Mau Jadi “Victim” atau “Victory”? , mungkin Anda mulai bertanya-tanya, “Lalu
bagaimana saya tahu bila saya sedang dalam kondisi “Victim”? Bagaimana caranya
untuk memiliki mindset “Victory”?”
Seperti yang saya telah katakan, setiap orang boleh kok
memilih, termasuk memilih mau jadi “Victim” atau meraih “Victory” dalam
hidupnya. Tidak ada yang memaksa kita untuk selalu berada di kondisi “Victory”.
Dan apabila kita mulai memutuskan untuk menjadi pribadi yang “Victory”, itu
adalah pilihan dan bukan paksaan. Tidak bakalan ada orang yang menodongkan
pistol ke kening kita dan menyuruh kita untuk, “Hayo, segera pindah ke mindset “Victory”
atau saya tembak kepala kamu..!”
Bila Anda memutuskan untuk menerima kondisi Anda apa adanya,
mungkin Anda tidak perlu melanjutkan membaca tulisan ini. Dan bila Anda ingin tahu
cara yang mudah untuk memiliki mindset “Victory”, ya silahkan lanjut
membacanya, hehehe..
Petunjuk utama kita berada dalam kondisi “Victim” adalah
apabila kita menghadapi suatu kejadian kita merasakan “emosi negatif”. Apa sih
emosi negatif itu? Yaitu misalnya kita saat merasa marah, sedih, takut, rasa bersalah,
frustasi, kecewa, dll. Biasanya akan juga muncul suara-suara di dalam kepala
kita (disebut dialog internal) yang juga bernada negatif.
Mari kita ingat-ingat suatu pengalaman dimana kita berada
dalam kondisi yang tidak mengenakan, tidak berdaya, terjebak, tidak mampu, dll.
Kita bisa membayangkan diri kita mundur (step
back) dan seolah-olah melihat diri kita sedang dalam kondisi dan emosi
seperti itu. Perhatikan diri kita yang di depan kita. Amati juga apa yang
spesifiknya telah terjadi saat itu? Bagaimana kita tahu bahwa kita berada dalam
kondisi “victim”? Apakah ada seseorang yang mempengaruhi kita secara negatif? Lalu
apakah kita sedang melakukan “blaming”, “excuse”, atau “denial”?
Setelah kita mengidentifikasi dengan jelas kondisi kita,
silahkan evaluasi dengan pertanyaan ini, “Apa saja yang saya telah lakukan
dengan benar saat itu?”. Dalam peristiwa buruk apa pun, pastilah ada
bagian-bagian dimana yang kita lakukan sudah benar. Tidak mungkin kita salah
100%. Silahkan tinjau kembali, bagian-bagian mana dari kejadian tersebut yang kita
telah lakukan dengan benar. Ketika kita telah menyadari bahwa ada hal-hal yang
benar yang kita lakukan, biasanya emosi negatif yang kita sedang rasakan pun
mereda.
Nah, langkah selanjutnya adalah kita mengidentifikasi dengan
pertanyaan-pertanyaan, “Apa saja yang di diri kita yang harus diperbaiki atau
ditingkatkan? Bagaimana caranya?” Mungkin kita memutuskan bahwa kita harus
memperbaiki cara atau perilaku tertentu. Mungkin juga kita perlu meningkatkan
pengetahuan atau keahlian kita. Atau mungkin kita perlu menghilangkan suatu mental block tertentu? Maksud dari
langkah ini adalah sesungguhnya tidak ada dari suatu peristiwa yang tidak bisa
diperbaiki 100%. Memang, peristiwa atau kejadian tersebut mungkin sudah lewat,
dan paling tidak kita bisa memperbaiki sikap atau apa pun dari diri kita ke
depannya.
Pertanyaan terakhir yang diri kita perlu jawab adalah, “pelajaran
positif apa yang saya bisa ambil dari peristiwa itu? Apa yang saya bisa
pelajari dari situasi itu yang bisa membantu saya di masa depan?” Saya termasuk
orang yang percaya bahwa di setiap kejadian pasti ada pelajaran yang kita bisa
ambil untuk kemajuan kita di masa depan. Pelajaran tersebut mungkin bisa berupa
antisipasi apa yang kita harus siapkan, tindakan alternatif apa yang kita perlu
lakukan bila menjumpai peristiwa yang serupa, dll. Peristiwa atau kejadian
adalah netral, kita sendiri yang memberikan arti apakah itu positif atau negatif.
Kita tidak bisa menghapus kejadian yang telah terjadi. Yang bisa kita lakukan
adalah mengambil pelajaran positifnya.
Ciri-ciri dari pelajaran yang positif adalah:
- Dinyatakan dalam kalimat positif (bukan kalimat negatif, menggunakan kata “tidak”, atau bukan apa pun yang memiliki makna menghindar dari sesuatu). Contohnya adalah, “Saya tidak akan menegur dia dengan ketus lagi”. Kalimat ini adalah kalimat yang menggunakan kata ”tidak”. Bila kita tidak akan menegur dia dengan ketus lagi, lalu bagaimana kita akan menegur dia? Maka kita ganti saja kalimatnya menjadi, “saya akan menegur dia dengan dengan sikap yang sopan dan dengan tersenyum tulus”.
- Pelajaran tersebut haruslah kita sendiri yang melakukan, bukan orang lain. Misalnya pernyataan seperti, “staf saya harus mengetahui cara menjaga inventory di gudang supaya tidak ada barang yang hilang” bukanlah suatu pelajaran positif yang kita bisa lakukan sendiri. Gantilah dengan pernyataan seperti, “saya akan mengajarkan staf saya agar dia bisa menjaga inventory di gudang sehingga tidak ada lagi barang yang hilang”. Kalimat ini tentu lebih memberdayakan diri kita, bukan?
- Pelajaran tersebut tentulah musti berlaku dan kita bisa terapkan di masa depan. Percuma bila tidak bisa. Bagaimana seumpama ada peristiwa yang sama terjadi di masa depan? Apa yang kita perlu lakukan secara berbeda bila hal yang serupa terjadi lagi?
Sekarang kita sudah mengerti bagaimana kita bisa pindah ke
posisi “Victory”, bila kita memang telah memutuskannya. Sebagai latihan,
sekarang silahkan pilih peristiwa atau kejadian tertentu yang membawa kita ke
kondisi “Victim”. Segera lakukan langkah-langkah di atas dan perhatikan
bagaimana perasaan kita pun ikut berubah menjadi lebih positif. Mudah-mudahan
kita menjadi semakin punya kendali terhadap diri kita dan kita tidak membiarkan
sikap dan kondisi kita dipengaruhi oleh pihak-pihak luar.
No comments:
Post a Comment