Dalam beberapa tahun terakhir, coaching (pendampingan)
telah ada dan mulai dikenal, dan menjadi suatu profesi. Profesi ini fokus pada
teknik-teknik dan metode-metode yang telah dipercaya dalam memberikan hasil-hasil
yang positif yang orang-orang cari. Coaching saat ini diartikan secara bebas
adalah suatu cara untuk mendukung orang lain dalam pencarian mendapatkan apa
yang mereka inginkan, apakah itu suatu sasaran hidup yang spesifik, atau
sekedar gaya hidup tertentu yang mereka ingin ciptakan. Belajar meng-coach
orang lain akan memberikan manfaat buat kita dan orang lain, dan di lingkungan
dimana banyak dari kita menghadapi kehidupan dan kondisi hidup yang kompleks, coaching
memiliki kontribusi berharga.
Berdasarkan pengalaman saya pribadi, dan juga
berbagai pengamatan dalam proses coaching, saya mulai menyadari adanya
sekumpulan asumsi dasar yang mendukung proses coaching, agar coaching semakin
besar kemungkinannya untuk berhasil.
Asumsi dasar, atau di NLP biasa disebut presuposisi, berperan sebagai
prinsip dasar kita untuk mencapai keefektivitasan dalam menjalankan coaching.
Dengan mengacu kepada asumsi dasar, dan membandingkannya dengan keyakinan dan
perilaku kita sendiri, kita seringkali dapat menemukan peluang untuk perbaikan
dan penyempurnaan. Tatkala proses coaching tidak berhasil, asumsi dasar
tersebut juga dapat membantu kita menjelaskan penyebab ketidakberhasilan itu.
Beberapa dari presuposisi tersebut berfungsi sebagai aturan bagaimana seorang Coach
sebaiknya berperilaku, dan yang lainnya berlaku sebagai suatu sudut pandang apa
yang seorang Coach perlu dan tidak perlu lakukan.
Dalam tulisan ini dan beberapa tulisan
berikutnya, saya akan menjabarkan beberapa asumsi dasar yang saya rasa penting
untuk dipahami dan dijalankan bagi seorang Coach. Asumsi dasar yang pertama
yang saya ingin sentuh adalah Coaching bukan
menilai atau menghakimi
Sebagai manusia biasa, kita cenderung untuk
menilai, menghakimi, bahkan melabel orang lain. Kita membanding-bandingkan
penampilan seseorang, bagaimana pola pikir dan perilaku mereka, dengan diri
kita sendiri. Kita bisa saja suka atau tidak suka dengan orang lain berdasarkan
gaya rambut mereka, pakaian mereka, penampilan mereka, kata-kata atau bahasa yang mereka gunakan, suara mereka,
keyakinan mereka, dll.
Apa yang terjadi bila seorang Coach sudah
langsung tidak menyukai atau menilai kliennya? Bagaimana bila ada perilaku
klien kita yang belum-belum sudah kita label ‘buruk’? Mari kita untuk tidak
memperdebatkan perilaku yang seperti apa sih yang baik dan yang buruk, namun
sebagai seorang Coach, rasa tidak suka, apa pun itu bentuknya, bakalan
mengganggu kesempurnaan kita memfasilitasi proses coaching. Apalagi,
ketidaksukaan kita cepat atau lambat akan diketahui klien kita, entah kita
nyatakan atau tidak. Hal ini karena kita tidak bisa melihat klien kita secara obyektif.
Bila kita tidak melihat klien secara
obyektif, dengan pikiran terbuka tanpa pretensi apa-apa, kita cenderung sulit
memahami mereka, yang akan memberikan dampak terhadap hubungan kita dengan
klien, dan pada akhirnya mengurangi kemampuan kita untuk melibatkan mereka
dalam coaching. Klien kita akan mulai menyadari ketidaksukaan kita, mungkin
dari ekspresi wajah kita, tekanan suara kita, bahasa tubuh kita, atau sekedar
gaya bahasa yang kita gunakan, sehingga membuat klien kita waspada bahkan mulai
menutup diri. Apalagi bila kita mulai bertindak untuk ‘memperbaiki’ klien,
mereka akan defensif dan merasa tidak nyaman dengan kita, tentunya hal ini akan
sangat mempengaruhi penilaian mereka akan manfaat coaching dengan kita.
Menilai atau menghakimi klien akan menjadi
hambatan kita. Oleh karena itu, seorang Coach perlu bertindak secara obyektif
terhadap klien, tanpa penilaian, tanpa melabel. Tatkala seorang Coach menjaga
posisi yang netral dan terbuka, kita akan besar kemungkinan untuk bisa mengumpulkan
banyak informasi yang lebih jelas sehingga akan mendapatkan sudut pandang yang
lebih relevan terhadap situasi klien. Pikiran kita akan menjadi lebih terang,
merasa lebih tenang, betul-betul hadir disana untuk klien.
Peran seorang Coach bukanlah sebagai hakim
tentang bagaimana klien kita menjalani hidup mereka. Peran seorang Coach adalah
menemukan kaitan yang jelas antara perilaku mereka dengan hasil atau tujuan
yang mereka inginkan.
Bagaimana rasanya sikap tidak menilai atau tidak
menghakimi itu? Sederhana saja, bersikap tanpa menghakimi rasanya seperti tidak
merasakan apa-apa, karena memang tidak ada apa-apa yang terjadi di dalam tubuh
kita! Tidak ada internal dialog di dalam kepala kita sepanjang proses coaching,
kening kita tidak berkerut, tidak menggelengkan kepala, dan tidak ada bahasa
tubuh atau mengeluarkan suara ‘ketidaksetujuan’. Kita akan benar-benar
mendengarkan, dan tetap hadir dalam aliran percakapan dengan klien.
Yang kita harapkan adalah, akan munculnya rasa
keingintahuan yang positif terhadap apa yang sedang dibicarakan dan terhadap
apa yang dialami klien. Kita akan berusaha memahami apa yang sebetulnya sedang
atau telah terjadi pada klien, mana yang relevan dan penting dari hal itu
ketika dikaitkan kepada sasaran klien. Dengan begitu, kualitas coaching kita
akan sangat bermanfaat bagi kita sendiri dan bagi klien kita.
-Bersambung-
No comments:
Post a Comment