Monday, October 6, 2014

Passion dalam Bekerja



Beberapa kali saya menerima klien yang sudah mencapai posisi tinggi, yaitu setingkat Direktur, bahkan Direktur Utama, di perusahaannya. Dari mereka, banyak cerita dan pelajaran yang saya bisa tuliskan di sini. Salah satu hal yang paling penting untuk kita amati adalah mereka biasanya memilki masalah dengan semangat bekerjanya.

Misal salah seorang klien saya yang juga sudah sekitar setahun dipromosi ke posisi selevel Direktur. Beliau suatu ketika menemui saya dan menceritakan masalahnya. “Coach, saya kok seperti kehilangan passion saya dalam bekerja ya? Ritme kerja saya tidak seperti dulu lagi ketika saya masih di level Penyelia atau Manajer. Setelah setahun ini menjabat saya rasanya masuk ke comfort zone, atau saya merasa seperti bukan diri saya lagi. Ada apa ya dengan diri saya?” Hmm, menarik bukan? Bukankah bila seseorang sudah semakin naik posisinya dia akan tambah semangat dalam bekerja, karena dia mendapat penghasilan yang lebih banyak? Ternyata tidak juga, seperti kasus klien saya ini.

Nah, dalam proses saya memberikan pendampingan (coaching) kepada beliau, saya menggunakan konsep yang disebut “Neuro-logical Level”. Saya memang sering menggunakan pendekatan ini bila menemui kasus yang serupa, terkait dengan passion, dan yang semacam ini. Model ini memudahkan kita dalam memahami apa yang membuat seseorang “tick”, baik itu dalam konteks pekerjaan, bisnis, rumah tangga, kesehatan, dll. Saya tidak akan menjelaskan secara detil mengenai konsep yang diperkenalkan oleh Robert Dilts dan Todd Epstein ini, karena kita dengan mudah mendapatkan artikel-artikel terkait melalui search engine di internet. Dan saya juga telah menjelaskan beberapa levelnya pada artikel saya sebelumnya, yaitu yang berjudul Tentang Kompetensi.

Dalam tulisan ini, saya ingin fokus pada dua level saja yang mempengaruhi passion seseorang dalam suatu konteks, yaitu level Identity dan level Spiritual.

Pada level Spiritual, kita bicara mengenai visi (life purpose), yaitu dunia yang seperti apa yang kita dambakan, dan apa kontribusi kita terhadap dunia. Dunia dalam hal ini bisa berarti masyarakat, bangsa, keluarga, orang sekitar, dll. Apa bila kita telah menemukan visi hidup kita ini adalah penggerak yang paling kuat karena kita telah menemukan alasan untuk apa kita hidup.

Level Identity adalah mengenai misi hidup kita, jati diri kita, atau siapakah kita dalam rangka kita menjalani visi (life purpose) kita. Kita adalah orang yang seperti apa, definisi apa yang kita berikan terhadap diri kita. Peran atau role apa yang kita jalankan dalam hidup.

Kembali kepada kasus klien saya. Beliau saya gali pada level Identity. “Dalam konteks jabatan/posisi Anda sekarang, siapakah Anda? Peran apa yang Anda jalankan?” Seperti dugaan saya, beliau agak kesulitan dalam menjawab. Justru yang paling cepat beliau katakan adalah level Identity dalam konteks yang berbeda. Beliau mendefinisikan dirinya sebagai “seorang ibu dan istri bagi keluarga dan suaminya”. Dan beliau masih kesulitan dalam mendefinisikan dirinya dalam konteks pekerjaan.

Ketika saya gali pada level Spiritual, kembali beliau menemukan kesulitan untuk mendefinisikannya. Yang paling sering beliau ucapkan adalah “menjadi orang yang baik dan berguna”. Pernyataan ini masih sangat luas dan masih dalam level Identity, bukan Spiritual.

Saya pun menjelaskan kepada beliau mengenai keterkaitan antara level Identity dan Spiritual beliau dengan passion. Mengapa selama ini dia merasa kehilangan passion-nya, karena ada ketidakselarasan antara level Identity dan Spiritual-nya. Untuk itu, beliau perlu menemukan keselarasan tersebut, dan setelah itu masih perlu untuk menselarasakannya dengan berbagai perilakunya dalam konteksnya sebagai seorang Direktur sebuah perusahaan.

Membutuhkan beberapa sesi pendampingan (coaching) untuk memfasilitasi beliau dalam menemukan kembali passion-nya, yaitu menselaraskan level Identity dan Spiritual-nya dalam konteks pekerjaan. Dan ketia beliau sudah betul-betul menemukan keselarasan itu, secara otomatis dia pun menemukan lagi ritme kerja yang dia rindukan.

No comments: