Beberapa kali saya menerima klien
yang sudah mencapai posisi tinggi, yaitu setingkat Direktur, bahkan Direktur
Utama, di perusahaannya. Dari mereka, banyak cerita dan pelajaran yang saya
bisa tuliskan di sini. Salah satu hal yang paling penting untuk kita amati
adalah mereka biasanya memilki masalah dengan semangat bekerjanya.
Misal salah seorang klien saya
yang juga sudah sekitar setahun dipromosi ke posisi selevel Direktur. Beliau
suatu ketika menemui saya dan menceritakan masalahnya. “Coach, saya kok seperti
kehilangan passion saya dalam bekerja
ya? Ritme kerja saya tidak seperti dulu lagi ketika saya masih di level
Penyelia atau Manajer. Setelah setahun ini menjabat saya rasanya masuk ke comfort zone, atau saya merasa seperti
bukan diri saya lagi. Ada apa ya dengan diri saya?” Hmm, menarik bukan?
Bukankah bila seseorang sudah semakin naik posisinya dia akan tambah semangat
dalam bekerja, karena dia mendapat penghasilan yang lebih banyak? Ternyata
tidak juga, seperti kasus klien saya ini.
Nah, dalam proses saya memberikan
pendampingan (coaching) kepada
beliau, saya menggunakan konsep yang disebut “Neuro-logical Level”. Saya memang sering menggunakan pendekatan ini
bila menemui kasus yang serupa, terkait dengan passion, dan yang semacam ini. Model ini memudahkan kita dalam
memahami apa yang membuat seseorang “tick”,
baik itu dalam konteks pekerjaan, bisnis, rumah tangga, kesehatan, dll. Saya
tidak akan menjelaskan secara detil mengenai konsep yang diperkenalkan oleh
Robert Dilts dan Todd Epstein ini, karena kita dengan mudah mendapatkan
artikel-artikel terkait melalui search
engine di internet. Dan saya juga telah menjelaskan beberapa levelnya pada
artikel saya sebelumnya, yaitu yang berjudul Tentang Kompetensi.
Dalam tulisan ini, saya ingin
fokus pada dua level saja yang mempengaruhi passion
seseorang dalam suatu konteks, yaitu level Identity dan level Spiritual.
Pada level Spiritual, kita bicara mengenai visi (life purpose), yaitu dunia yang seperti
apa yang kita dambakan, dan apa kontribusi kita terhadap dunia. Dunia dalam hal
ini bisa berarti masyarakat, bangsa, keluarga, orang sekitar, dll. Apa bila
kita telah menemukan visi hidup kita ini adalah penggerak yang paling kuat
karena kita telah menemukan alasan untuk apa kita hidup.
Level Identity adalah mengenai
misi hidup kita, jati diri kita, atau siapakah kita dalam rangka kita menjalani
visi (life purpose) kita. Kita adalah
orang yang seperti apa, definisi apa yang kita berikan terhadap diri kita.
Peran atau role apa yang kita
jalankan dalam hidup.
Kembali kepada kasus klien saya.
Beliau saya gali pada level Identity. “Dalam konteks jabatan/posisi Anda sekarang, siapakah Anda? Peran
apa yang Anda jalankan?” Seperti dugaan saya, beliau agak kesulitan dalam menjawab.
Justru yang paling cepat beliau katakan adalah level Identity dalam konteks yang
berbeda. Beliau mendefinisikan dirinya sebagai “seorang ibu dan istri bagi keluarga
dan suaminya”. Dan beliau masih kesulitan dalam mendefinisikan dirinya dalam konteks
pekerjaan.
Ketika saya gali pada level Spiritual,
kembali beliau menemukan kesulitan untuk mendefinisikannya. Yang paling sering beliau
ucapkan adalah “menjadi orang yang baik dan berguna”. Pernyataan ini masih sangat
luas dan masih dalam level Identity, bukan Spiritual.
Saya pun menjelaskan kepada beliau
mengenai keterkaitan antara level Identity dan Spiritual beliau dengan passion. Mengapa selama ini dia merasa kehilangan
passion-nya, karena ada ketidakselarasan
antara level Identity dan Spiritual-nya. Untuk itu, beliau perlu
menemukan keselarasan tersebut, dan setelah itu masih perlu untuk menselarasakannya
dengan berbagai perilakunya dalam konteksnya sebagai seorang Direktur sebuah perusahaan.
Membutuhkan beberapa sesi pendampingan
(coaching) untuk memfasilitasi beliau
dalam menemukan kembali passion-nya, yaitu
menselaraskan level Identity dan Spiritual-nya dalam konteks pekerjaan.
Dan ketia beliau sudah betul-betul menemukan keselarasan itu, secara otomatis dia
pun menemukan lagi ritme kerja yang dia rindukan.
No comments:
Post a Comment