Tuesday, May 25, 2010

Perception is Projection

Salah satu presuposisi yang saya dapatkan semenjak mendalami NLP adalah "The perception is projection". Maksud dari presuposisi ini adalah, bahwa kita melihat segala hal di luar kita bukan melihat apa adanya, namun kita melihatnya berdasarkan apa yang sesuai menurut kita. Dengan presuposisi ini, kita belajar memahami bahwa apa yang kita yakini sebagai suatu "kenyataan" atau "kebenaran", adalah berdasarkan informasi-informasi yang kita dapat setelah mereka melalui berbagai fliter yang ada di benak kita. Informasi yang kita pegang terebut akhirnya menjadi peta di benak kita.

Agar bisa memahami lebih jauh, mari kita mulai dengan membahas tentang salah satu filter tersebut, yaitu yang disebut proses generalisasi. Misalkan di saat kita pertama kali mengenal sebuah pintu. Semenjak kita mengetahui apa itu pintu, benak kita pun melakukan generalisasi terhadap semua pintu, dan bagaimana semua pintu itu berfungsi. Ini disebut peta kita tentang seluruh pintu.

Di saat kita menjumpai sebuah pintu yang lain, daripada kita belajar mengenali pintu tersebut dari awal lagi, kita akan mengacu pada peta kita tentang pintu yang telah kita susun sebelumnya, lalu menerapkan peta tersebut, atau kita memproyeksikannya kepada pintu yang sedang ada di hadapan kita ini. Sehingga kita memiliki keyakinan bahwa pintu ini akan sama saja dengan pintu yang ada di peta pikiran kita, memiliki berbagai sifat-sifat pintu yang sama, dan akan menunjukan cara kerja yang sama pula.

Tentunya manusia lebih kompleks daripada sebuah pintu. Dalam upaya untuk memahami dunia ini, kita sebagai manusia akan memberi arti (meaning) pada berbagai hal dan peristiwa di dunia. Bila kita memahami bahwa setiap manusia adalah unik, maka hal ini berarti bahwa setiap peta yang ada di benak setiap manusia juga unik, berbeda-beda, sehingga ketika masing-masing manusia berusaha memahami berbagai kejadian, mereka pun memberi arti berdasarkan peta mereka sendiri.

Dalam upaya kita untuk memahami orang lain, kita akan memberi arti terhadap tindakan-tindakan dan perilaku mereka, serta apa yang mereka komunikasikan, menurut peta di benak kita.

Cara ini memang berguna, dan juga membatasi kita. Apa yang kita proyeksikan ke orang lain, yaitu arti-arti yang kita berikan kepada dunia dan sekitar kita, ditimbulkan dari dalam diri kita. Kita memproyeksikan diri kita kepada sekitar kita, kepada orang lain, dan kepada dunia, sehingga akhirnya kita melihat segala hal berdasarkan apa yang sesuai menurut kita, bukan secara apa adanya.

Dengan menerima presuposisi the perception is projection ini, maka kemampuan kita menggunakan panca indra kita akan meningkat pesat, kita akan bisa berkomunikasi dengan lebih efektif, dan akan menimbulkan perilaku ingin tahu yang sangat berguna, yang akan membawa kita ke berbagai temuan-temuan hidup yang luar biasa.

Dengan menghormati peta dunia orang lain, atau bahkan dengan memasuki peta dunia orang lain untuk sementara waktu, potensi kemampuan interpersonal kita pun akan meningkat secara eksponensial.

Dengan menahan diri kita terhadap kecenderungan untuk melihat dunia ini hanya berdasarkan apa yang sesuai menurut kita, kita akan mendapatkan berbagai keuntungan tak terhitung untuk selalu memperkaya dan menyempurnakan peta benak kita.

1 comment:

kopicina said...

pagi Pak,
tulisan yang menarik, pada bagian awal saya mengira Bapak akan mengacu kepada iluminasi, dengan memposisikan diri sebagai cermin yang memproyeksikan (cahaya) pengetahuan ke benda-benda, tetapi kemudian idenya bergerak lagi ke dikotomi pemahaman objektif dan subjektif, hingga akhirnya berakhir di penyerahan kepada (sosial) kontekstual.
Karena titik tujunya adalah kemampuan interpersonal, maka saya setuju juga.
Tapi bicara tentang iluminasi, sepengetahuan saya (yg terbatas), pemahaman bukanlah melalui proyeksi, dalam arti diri memproyesikan kembali pengetahuan yang telah didapatnya sehingga sesuai dengan tuntutan sosial. Ininal yang hendak saya perjelas/tanyakan, apakah diri, setelah mendapatkan/mengalami pengetahuan, kembali membatasinya dengan memproyeksikan keluar demi persetujuan sosial, ataukah ini adalah bertujuan demi menghindari konflik semata? tetapi apalah konflik itu, bukankah keragaman adalah untuk memperkaya? dan keragaman itu, bukankah ia diberikan olehNya memang untuk memperkaya(Nya) juga. Btw, maaf jika agak panjang suratnya, saya telusuri posting Bapak via Linkedin, ternyata kita satu koneksi, Pak.

regards,
kopicina